Kamis, 25 Oktober 2007

Selasa, 16 Oktober 2007

Senin, 15 Oktober 2007

Himbawan, Saran dan Renungan Terhadap Sebuah Kebijakan


"Sebuah Renungan Untuk Kebijakan Tentang Larangan Pembakaran Lahan Untuk Ladang"


Surat ini saya sampaikan sebagai bentuk kepedulian dan keprihatinan saya terhadap mekanisme pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan publik yang sedang terjadi di pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, dalam hal ini adalah larangan untuk pembakaran lahan untuk ladang.

Sebagai bentuk sebuah kejujuran, surat ini juga saya sampaikan karena saya juga mempunyai lahan siap bakar yang akan saya pergunakan untuk ladang dan selanjutnya akan saya gunakan sebagai lahan untuk menanam karet dan buah-buahan, cara saya ikut membantu program ketahanan pangan dan program revitalilsasi perkebunan secara mandiri dan mewariskan sesuatu untuk keturunan saya.

Bapak Gubernur Kalimantan Tengah, Bupati/Walikota, Kapolda Kalteng, Kapolres se Kalimantan Tengah serta Direktur CKPP yang terhormat.

Saya selaku warga asli Dayak Kalimantan Tengah yang pernah berladang dan mungkin cukup mengenal suku Dayak dan masyarakat Kalimantan Tengah, cukup berpendidikan di dalam dan luar negeri, cukup melek melihat dan cukup punya wawasan mengenai lingkungan hidup, pernah berkunjung ke hampir seluruh Kalimantan Tengah, dari pesisir pantai hingga kehulu-hulu sungai, dengan ini menyampaikan dengan harmat kepada Gubernur Kalimantan Tengah, Bupati/Walikota, Kapolda Kalteng, Kapolres se Kalimantan Tengah dan Direktur CKPP hal-hal sebagai berikut:

1. Larangan membakar lahan untuk ladang adalah kebijakan yang kurang tepat dan nantinya (cepat atau lambat) akan membuat orang Dayak dan masyarakat peladang Kalimantan Tengah menjadi manusia yang tidak mempunyai martabat karena akan banyak yang menjadi jipen (budak), yang sebelumnya mandiri, menjadi pengemis dengan menggantungkan hidup pada Jatah Hidup (jadup). Bapak Pejabat Politis dan Direktur CKPP yang terhormat ada dua hal yang menjadi dasar pemikiran saya yaitu; Dasar pikir pertama adalah tentang Katahanan Pangan: Ketahanan pangan adalah prioritas kegiatan pertanian orang Dayak sejak dulu. Berladang dengan membakar (slash and burn kata orang bule) adalah sebuah cara masyarakat Dayak Kalimantan Tengah untuk mengatasi tingkat kesuburan (unsur hara) dan cara olah tanah yang umumnya memerlukan perlakuan khsusus sesuai dengan jenis tanaman yang ingin ditanam. Bukan cara primitif seperti kata HR. Putih dalam tulisannya, tetapi cara arif sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya dalam mengolah lahan. Cara yang dilakukan sesuai apa yang dikatakan oleh HR. Putih (nama benaran atau nama samaran?), adalah di luar kemampuan para petani tradisional dan pada kenyataannya Pemerintah Provinsi dan juga Kabupaten belum siap untuk melaksanakan hal tersebut. Jangan sampai dengan kata lain, HR Putih menganggap orang Dayak sebagai orang yang primitif. Pernyataan Wakil Gubernur yang menyatakan bahwa sampah hasil pembukaan lahan sebaiknya dikubur, juga tidak mampu dilakukan. Marilah bapak tugaskah orang dari Dinas Pertanian bersama saya melakukan praktek lapangan, mengubur sisa pohon untuk lahan yang kayunya besar-besar. Menghilangkan lapisan atas yang berupa akar-akar kayu dan biomass lainnya. Penulis siap untuk bekerja pada ladang yang sama dengan orang yang Bapak tugaskan atau dengan bapak HR Putih, untuk sama-sama merasakan bagaimana susah dan beratnya, solusi yang Bapak tawarkan dan juga untuk mengetahui berapa luas ladang yang dapat kami masing-masing siapkan, untuk memberi makan anak isteri kami. Para sarjana pertanian yang saya temui mengatakan pupuk terbaik adalah yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, selain abu vulkanik dan kotoran binatang. Jadi dengan membakar, peladang mendapat pupuk dari sisa tumbuh-tumbuhan hasil pembakaran. Dengan demikian ladang yang dibakar akan mempunyai cukup input nutrisi bagi tanaman padi untuk berkembang dengan baik. Keluarga Dayak akan sangat senang apabila hasil ladangnya cukup untuk persediaan hingga panen tahun berikutnya (istilah Dayak Ngaju “sukup akan panginan sampai getem nyelu rahian”). Inilah yang dipikirkan oleh keluarga petani Dayak. Jadi dengan larangan membakar lahan untuk ladang, akan membuat keluarga Petani Dayak tidak mempunyai ketahanan Pangan dan secara umum Kalimantan Tengah akan Rawan Pangan, karena berdasarkan data tahun 2005 (Kalimantan Tengah dalam angka 2005) luas ladang adalah 94.639 hektar dengan produksi 190.574 ton gabah atau setara beras paling tidak 100.000 ton, cukup untuk memberi makan selama setahun bagi sebanyak 833.000 orang atau 42% dari penduduk Kalimantan Tengah yang menurut data tahun 2005 berjumlah 1,95 juta orang. Jadi kalau ada kebijakan memberi subsidi beras seperti yang disampaikan kepada pers oleh Direktur CKPP, untuk peladang, beberapa waktu lalu, maka Pemerintah Provinsi harus siap mengalokasikan dana dari APBD Kalteng sebesar Rp. 600 milyar atau sebesar kurang lebih 50% dari APBD Kalteng tahun 2008, khusus untuk membeli beras kepada para peladang dengan asumsi harga beras layak dimakan Rp. 6000/kg dan perorang mendapat 10 Kg beras/bulan. Beras itu disediakan jangan cuma untuk beberapa bulan, karena ladang hanya panen satu kali setahun. Karena dilarang membakar ladang untuk tahun 2007 ini, maka Pemerintah Provinsi harus bertanggungjawab terhadap persediaan beras gratis untuk peladang hingga Pebruari 2009. Cukupkah dananya? Mungkin inilah waktunya tidak hanya untuk warga transmigrasi saja kita bisa siapkan Jadup, giliran orang Dayak dan penduduk Kalimantan Tengah yang mendapat Jadup.

Bapak Gubernur dan Bapak-Bapak Bupati Yang terhormat; Dasar pikir kedua adalah mengenai pola kepemilikan (akuisisi) lahan/tanah. Tanah adalah harta paling berharga dan dan adalah warisan paling berharga dimanapun di seluruh dunia. Pola yang ditempuh masyarakat Dayak untuk kepemilikan lahan adalah melalui perladangan. Bekas ladang (apabila tidak dimaksudkan untuk lokasi ladang tahun berikutnya), umumnya akan ditanami tanaman keras berupa tanaman perkebunan yang umumnya adalah karet dan rotan (rotan termasuk hasil hutan ikutan menurut UU 41 tentang kehutanan; contoh kekeliruan sebuah Undang-undang) dan juga buah-buahan. Melalui pola ini maka penduduk Dayak Kalimantan Tengah mempunyai bukti kepemilikan lahan berupa tanam tumbuh. Bukti kepemilikan lahan berupa surat tanah, apapun bentuknya, umumnya belum dimiliki oleh masyarakat Dayak. Oleh karena itu, dengan larangan membakar lahan untuk ladang, Pemerintah melalui Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten melalui Bupati telah memotong sebuah mekanisme turun temurun orang Dayak dan masyarakat Kalteng lainnya dalam mewariskan harta paling berharga kepada keturunannya yaitu berupa Tanah Perwatasan berupa Kebun ataupun lahan pertanian lainnya. Sehingga nantinya, “Palaku” dalam tata cara adat perkawinan Dayak Kalimantan Tengah tidak banyak lagi yang berupa tanah perwatasan. Terhentilah proses ini, dan akibat dari kebijakan ini, orang Dayak dan penduduk Kalimantan Tengah lainnya akan menjadi orang yang yang tidak mempunyai tanah atau menjadi landless atau bahkan mungkin nantinya menjadi homeless kata orang Inggris. Tidak menjadi Landlord atau Landlady, kata paling dikenal oleh para mahasiswa Inggris yang tidak tinggal di asrama Universitas. Jadilah masyarakat Dayak seperti peribahasa leluhur Dayak yang berbunyi “Tempun petak manana sare, tempun kajang bisa puat” atau kita sudah sampai pada apa yang diramal oleh Raja Brooke si Raja Putih di Serawak yang mengatakan “akan tiba saatnya akan datang padamu, orang-orang yang begitu tega yang tidak akan menyisakan apapun untukmu, sehingga piring nasi yang ada didepanmupun akan mereka ambil”. Siapakah orang-orang tersebut?. Kakek saya yang sudah meninggal yang tercatat sebagai pendiri Kalimantan Tengah mengatakan, orang-orang tersebut sudah datang dan banyak diantara kamu.

2. Bapak Gubernur dan bapak-bapak Bupati yang terhormat. Berpijak kepada dasar pikir yang saya sampaikan diatas, saya mempunyai pendapat bahwa apa yang dilakukan melalui kebijakan larangan membakar ladang adalah sebuah “Kebijakan menengah dan jangka panjang memiskinkan masyarakat Dayak” dan atau “sebuah cara untuk Mengamankan kebijakan tentang pengalokasian atau pencadangan lahan di Kalimantan Tengah untuk para pengusaha”, kalau tidak mau dikatakan sebagai sebuah “policy failure” dan dampak kebijakan tersebut adalah akan semakin banyak orang Dayak yang tidak mandiri dan miskin. Apabila bukan itu yang dikehendaki, tetapi masyarakat Kalteng yang Sejahtera dan Bermartabat, maka orang kalteng yang Bapak maksud bukanlah orang Dayak, tetapi para pemilik perkebunan sawit (sponsor pembuatan spanduk larangan membakar lahan/Makin Group) ataupun para pemilik/pemegang HGU lainnya, yang telah mendapat lahan luas di Kalimantan Tengah, sehingga mungkin karena saking banyaknya, batas antara KPPL dan KPP dalam rancangan RTRWP Kalteng yang baru, ada yang garis lurus sehingga membentuk kotak. Apakah hal ini dapat diartikan sebagai tanda batas pembagian tanah untuk rakyat dan untuk pengusaha. Apa memang demikian tata cara penetapan wilayah ruang untuk KPP dan KPPL? Kalau kebijakan larangan membakar ladang adalah kebijakan mengamankan pencadangan lahan Kalimantan Tengah, supaya tidak terjadi konflik kepemilikan lahan di kemudian hari, saya mempunyai permintaan, mungkin ada baiknya agar Bapak Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mempertimbangkan untuk mengundurkan diri, seperti yang sering saya baca di koran pada bulan-bulan awal saat menjabat Gubernur Kalimantan Tengah. Mungkin inilah saat yang tepat untuk melakukan pertimbangan ulang, untuk melakukan pengunduran diri tersebut.

3. Marilah lebih jernih berpikir dan mengambil sikap mengenai politik dan isu lingkungan yang dijual oleh pemerintah asing dan LSM luar negeri. Isu yang mereka jual adalah untuk tanah airnya, bukan untuk petak danum itah, bukan untuk uluh itah, bukan untuk Kalimantan Tengah, bukan untuk Indonesia. Global warming, Climate Change adalah dosa yang dibuat oleh negara industri dan untuk menebus dosa itu keluarlah berbagai ide seperti Carbon Credit, Bio Rights dan berbagai bantuan dari negara Industri untuk menyelamatkan hutan di negara tropis. Jadi, dosa negara industri di tebus dengan uang untuk negara berkembang/tropis dan kitalah yang harus “beribadah” untuk menebus dosa tersebut, sementara masyarakat kita masih berkutat pada urusan kampung tengah alias perut. Hal paling mendasar yang harus dibuat dalam kebijakan lingkungan hidup adalah menyandingkan dengan setara pertimbangan Ecology dan Economy. Hal inilah yang sedang dirumuskan oleh para ilmuwan dunia mengenai lingkungan hidup, sehingga pendekatakannya menjadi sebuah pendekatan yang disebut “win-win solution” antara ecology dan economy, bukan sebuah pendekatan berat sebelah. Disinilah peran Pemerintah Daerah dalam masalah lingkungan hidup, bukan condong kepada salah satunya, tetapi menyandingkan keduanya dalam suatu tatanan hubungan yang sinergis. Deklarasi Palangka Raya yang dibuat dalam sebuah seminar bisa saja dipandang sebagai sebuah hasil dari pemahaman dan penyikapan yang kurang tepat mengenai politik dan isu lingkungan, atau juga penggunaan isu lingkungan untuk mengalihkan perhatian publik dari kebijakan yang labih fatal terhadap lingkungan yaitu massive landuse conversion (konversi lahan besar-besaran terutma untuk perkebunan). Sebuah cara cerdik untuk menghindar dari isu lingkungan yang lebih permanen, berdampak luas dan jangka panjang. Tidak semua asap dan pembakaran adalah bencana. Tidak semua asap dan pembakaran adalah mencemari lingkungan. Karena untuk mengatakan mencemari lingkungan harus ada tolok ukur yang jelas, harus terbukti melanggar ambang batas yang telah ditentukan. Bukankah ini yang ditegaskan oleh Undang-undang lingkungan hidup? Bukankah hal ini yang harus dilakukan oleh para penyidik POLRI sebelum berkas pembakaran lahan masuk ke Kejaksaan untuk disidang di pengadilan (alasan mengapa para pengusaha perkebunan pembakar lahan tidak pernah disidang, berkasnya ditolak oleh kejaksaan dan oleh karena itu tidak ada yang masuk penjara). Untuk itulah spanduk besar di depan Kantor BPLHD Kalteng seharusnya bukan berbunyi “Save our forest, save orang utan (kahiu)”. Tapi bunyinya”save our forest, eradicate our Poverty”. Kalau yang pertama jangan dipasang di Kantor BPLHD Kalteng, tapi pasang saja di kantornya LSM peduli Kahiu. Untuk itu kita juga harus merubah pikiran kita dalam kasus lingkungan hidup, yaitu bahwa sebuah isu adalah komoditas perdagangan berharga mahal. Siapa yang diuntungkan? Tetap saja mereka yang dari negara Industri. Kalaupun ada orang Indonesia, itu paling cuma numpang nyari nafkah atau numpang fasilitas dana yang ada supaya populer. Contoh terkini adalah yang telah dilakukan oleh CKPP (Central Kalimantan Peatlang Project) dengan menyebar Kalender dan pamlet dan himbauan larangan membakar lahan hingga kehulu Rungan – Manuhing. Apa ada Peatland di Gunung Mas? Sejak kapan ada organisasi atau seksi dalam UNPAR bernama CKPP Unpar? Dengan beraninya membuat publikasi bahwa pertanian tanpa bakar sukses dan terbukti! Apakah benar melon itu ditanam dilahan gambut? Tidakkah melonnya ditanam di tanah mineral yang dimasukan kedalam lobang yang dibuat dilahan gambut? Apa begitu cara kerja ilmiah?. Lalu benarkah bahwa melon tersebut ditanam di lahan gambut, kalau ternyata akarnya hanya sekitar lobang yang bertanah mineral? Tidakkah CKPP telah melakukan pembodohan atau malah kebohongan publik? Sepengetahun saya tidak ada organisasi bernama CKPP Unpar dalam struktur organisasi resmi Universitas Palangka Raya. Hal ini penting diketahui oleh masyarakat Kalimantan Tengah, bahwa CKPP adalah bagian organisasi dari pelaksana proyek hibah bantuan Belanda, bukan organisasi resmi yang dibuat oleh Universitas Palangka Raya. Karena itu publikasi yang dilakukan oleh CKPP mengenai keberhasilan mereka mengembangkan pertanian tanpa bakar di lahan Gambut dengan melalui penanaman melon adalah sepenuhnya tanggung jawab CKPP, bukan tanggung jawab Universitas Palangka Raya. Apabila belakangan orang-orang CKPP menjadi setuju dengan membakar ladang, mungkin inilah bentuk “cuci dosa ilmiah ala CKPP”. Saya sebagai orang yang tercatat sebagai karyawan UNPAR sangat keberatan apabila larangan membakar ladang ini melibatkan UNPAR. Universitas adalah lembaga ilmiah, bukan sebuah LSM, seperti halnya CKPP yang adalah sebuah LSM, walaupun pengurusnya adalah orang UNPAR. Untuk itu para wartawan jangan lagi menggunakan istilah CKPP UNPAR. Tidak ada organisasi demikian dalam struktur organisasi Universitas Palangka Raya.

4. Bapak Gubernur dan Bapak-bapak Bupati, Bapak Kapolda dan Kapolres se Kalteng yang terhormat. Membakar lahan dan hutan memang dilarang oleh undang-undang dan berbagai ketentuan dibawahnya. Tetapi pertanyaan yang paling penting adalah apakah ladang adalah hutan?. Apakah lahan selalu didifinisikan dengan ladang? Disamping itu juga saya yakin bahwa pada era Gubernur Asmawi Agani, dengan mempertimbangkan secara bijak Undang-undang yang disebutkan melarang pembakaran lahan dan hutan, pemerintah Kalimantan Tengah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 yang dalam penjelasan pasal 2nya, menyebutkan bahwa pembakaran lahan untuk ladang dan kebun secara tradisional diperbolehkan, dan mekanismenya diatur oleh Pemerintah Kabupaten/kota masing-masing. Dengan demikian Pemerintah Kalimantan Tengah dan Pemerintah Kabupaten memiliki wewenang legal berdasarkan Perda, bagaimana mengatur pembakaran ladang. Kalaupun Perda ini diabaikan karena dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang lebih tinggi, saya yang bukan sarjana hukumpun tahu, bahwa ucapan seorang Pejabat Publik, Gubernur, Bupati, termasuk Presidenpun, tidak bisa mencabut ataupun membekukan sebuah Perda. Bukankah sampai sekarang belum ada keputusan yang sah secara hukum bahwa Perda tersebut dicabut?. Akan tetapi saya bingung dan curiga, tidak banyak Bupati yang membela rakyatnya. Hanya tercatat Bupati Bartim dan Bupati Kobar, Wabup Pulang Pisau dan Wabup Murung Raya (mungkin mereka ini yang layak jadi Gubernur berikutnya), yang tidak setuju larangan pembakaran Ladang. Sementara Bupati lainnya diam seribu bahasa. Oleh karena itu, masyarakat dan rakyat Kalimantan Tengah patut mempertanyakan apa tujuan atau agenda tersembunyi (selain dari isu asap, kebakaran dan bencana seperti bilboard dan spanduknya) dibalik larangan membakar ladang. Adalah sesuatu yang sangat rasional untuk menduga bahwa larangan pembakaran ladang adalah sebuah skenario politik untuk mengamankan pencadangan lahan di Kalimantan Tengah untuk para pengusaha perkebunan (ikut jadi sponsor pembuatan spanduk), kehutanan dan pertambangan. Patut juga diduga bahwa kasus penolakan Sawit oleh masyarakat Rungan Manuhing adalah sebuah contoh bagimana kisruhnya pengalokasian/pencadangan ruang/tanah yang ada di Kalimantan Tengah. Atau ini adalah bentuk balas dendam dan ketidak senangan Bapak-Bapak Bupati terhadap pola hubungan antara Pemerintah Kabupaten dengan Pemerintah Provinsi?. Sehingga semua Bupati patuh pada perintah ini, tetapi secara secara politis gamblang menyatakan bahwa ini kebijakan pemerintah provinsi melalui Gubernur. Namun demikian ada juga Pemkab yang saya anggap cerdik, mereka tidak pernah membuat surat tentang larangan membakar lahan, tetapi mempersilahkan spanduk larangan membakar lahan dipasang di wilayahnya (toh disitu bukan foto Bupati yang terlihat dan menyarankan secara sembunyi-sembunyi bahwa membakar ladang harus dilakukan selain jam 12 s/d 15 WIB, karena saat itulah satelit NOAA melintas di Kalteng). Suatu hal yang patut untuk diselami secara bersama-sama. Saya percaya hanya para Bupati yang tahu dengan pasti dan semoga saja, masing-masing pejabat politis bertanggung jawab dengan kebijakan larangan membakar lahan untuk ladang yang mereka keluarkan. Untuk itulah kita tidak perlu repot mecari solusi, laksanakan dengan benar dan konsekwen Perda Nomor 5 tahun 2003 supaya Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak mengeluarkan “solusi Jadup” memberikan subsidi beras kepada para Peladang? Apa ada dana Rp. 600 Milyar untuk membeli beras untuk para Peladang? Karena itu patutu dipertanyakan, apakah yang dikatakan oleh Direktur CKPP itu memang kebijakan Pemda? Lalu apa kapasitasnya sehingga seorang Direktur CKPP mempublikasikan kebijakan PemProv dan pertanyaan paling mendasar adalah apakah yang dikatakan itu dapat di pegang, apa dasar hukumnya? Hasil sebuah seminar? Itu bukan dasar hukum!. Karena para peladang sadar apa arti hukum, adalah selayaknya juga para pejabat Publik membuat kebijakannya dengan berdasarkan hukum dan kebijakan memberi subsidi mendapat legalitas sehingga harus ada keputusan mengikat paling tidak berupa Peraturan atau Keputusan Gubernur, sehingga kalau pada tahun 2008 nanti peladang ingin mendapat beras subsidi, mereka punya dasar hukum untuk meminta. Jangan cuma sebatas pernyataan Pers tanpa tahu siapa yang harus bertanggung jawab? Hal ini saya kemukakan karena sebenarnya kebijakan untuk melarang membakar lahan untuk ladang juga tidak ada dasar hukumnya, malah bertentangan dengan Perda yang masih ada dan masih berlaku. Mungkin inilah bentuk kebijakan yang sering dikatakan sebagai kebijakan “tidak bijak” karena dilakukan tanpa konsultasi yang intens dengan stakeholders. Kalau mau dirujuk ke hak asasi manusia, kebijakan tersebut bisa saja diduga melanggar hak asasi manusia karena dapat saja diduga sebagai kejahahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) karena menghilangkan dengan paksa sumber kehidupan para peladang. Sebuah kebijakan yang hanya dapat terjadi oleh karena minimnya informasi atau malah misinformasi.

5. Hal paling aneh dan ajaib mengenai larangan membakar lahan untuk ladang, saya temukan pada sebuah Kabupaten Pemekaran. Dalam sebuah suratnya seorang Bupati membuat Surat kepada para Camat, yang mendasarkan suratnya pada hasil sebuah seminar yang kemudian disebut belakangan sebagai deklarasi Palangka Raya. Pada poin 1 s/d 5 surat tersebut adalah hal yang wajar, tetapi pada poin ke 6, para Camat diperintahkan untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib, warganya yang melakukan pembakaran lahan. Saya jadi ngeri membaca surat tersebut. Seorang Camat harus melaporkan warganya ke polisi karena membakar ladang? Apakah camat atau Bupatinya mau memberi beras gratis kepada warganya yang peladang? Sejak kapan hasil sebuah seminar setara undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah? Itu terjadi hanya di Kalimantan Tengah. Sebuah bentuk kemajuan atau kesalah pahaman atau malah sebuah bentuk ketidakpedulian terhadap nasib rakyatnya?

6. Terakhir, saya menghimbau kepada bapak Kapolda Kalteng untuk lebih bijak dalam menindak para pembakar ladang. Saya yakin anak buah Bapak banyak juga yang orang tuanya adalah peladang atau paling tidak mempunyai sanak famili yang adalah peladang. Menegakkan hukum adalah tugas Bapak, tetapi membuat sengsara rakyat, saya yakin Bapak tidak mau. Hukum lain yang Bapak harus tegakkan adalah peraturan Daerah. Kalau Gubernur mengatakan Perda tersebut mau direvisi, ucapan Gubernur tidak bisa membekukan Perda. Harus ada Perda baru untuk mencabut atau mengganti Perda yang lama. Bukankah demikian logika kerja hukumnya? Menangkap mereka yang mampu mengendalikan dengan baik pembakaran ladang yang mereka lakukan, menurut saya bukan membakar lahan dan hutan, dan belum terbukti mencemari lingkungan. Karena untuk sampai pada kesimpulan mencemari lingkungan, pihak POLRI harus dapat membuktikan tingkat pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh para peladang pembakar ladangnya. Saya minta dengan sangat kepada Bapak Kapolda untuk lebih selektif dalam mendukung kebijakan Pemerintah Daerah. Wilayah tugas Bapak adalah penengakan hukum, jauh dari arena politis. Kebijakan ini juga patut diduga melanggar hak asasi manusia, karena berladang adalah sebuah cara untuk tetap hidup. Bukankah setiap orang berhak mempunyai matapencaharian? Haruskah mereka kelaparan karena tidak bisa berladang? Kebijakan membakar ladang menurut saya, kalau mau jujur adalah sebuah kebijakan politik. Apa buktinya? Buktinya adalah kebijakan ini mengabaikan dengan sengaja Perda Nomor 5 tahun 2003, pasal 2, beserta penjelasannya. Hanya kebijakan politik yang berani dibuat dengan melanggar Peraturan Daerah. Kemudian apabila berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007, tanggal 9 Juli 2007, tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, kebijakan ini juga kurang tepat, karena apabila dihubungkan dengan masalah larangan pembakaran ladang, maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota telah tidak berlaku bijak dalam melaksanakan tugas wajibnya yaitu tentang ketahanan pangan dan lingkungan hidup seperti yang diatur dalam pasal 7 ayat 2 peraturan pemerintah dimaksud. Masyarakat sudah cukup menderita dengan operasi illegal loging, karena ditingkat akar rumput ada keluhan bahwa untuk membuat rumah sendiripun masyarakat sudah takut dengan bapak Polisi. Pada saat melakukan tebas tebang untuk ladang, para peladang sudah didatangi polisi. Sehingga para orang tua yang kurang mengerti menanyakan kepada saya “en tuh nah aken, esu, jituhkah je otonomi daerah, gau kayu akan humakupun dumah polisi, petak likut humaku, intu bahuku imbagi akan kabun sawit, handak malan manana dumah polisi ngahana manusul, kilen ampi tana dia nusul, tau ikau kuman bari, amun kalute aken, esu ela buruk tinai ketun manyewut otonomi daerah. Baya ngapehe ikei je petani, tau matei balau ikei hanak, hesu, mangat ketun je bagajih, nyelu rahian gajih ketun mandai, tapi ikei dia kuman, tamam bihin metuh kampanye, besei-besei laku dukungan, nenga bantuan tuh te, limbah munduk, malah ikei handak kilau impatei, nyuhu balau”. Itulah sekelumit keluhan warga yang saya yakini keluar dari lubuk hati. Perlu penyikapan yang arif, karena saya yakin, kalau masyarakat marah secara bersama-sama, maka terjadilah yang disebut kemarahan publik (public anger), maka apapun aturan akan ditabrak bahkan dengan dipicu oleh gesekan dan suhu politik pada tahun 2008, tidak tertutup kemungkinan terjadinya kemarahan masal masyarakat terhadap pemerintah daerah. Khan polisi juga yang repot.

Semoga Tuhan yang Maha Esa dapat menolong para peladang dan memberikan pencerahan kepada para pejabat publik. Tahun 2008 sudah dekat. Isu “manjual petak danum dan mangapehe rakyat kurik, rangkah-rangkah mampanihau uluh Dayak”, adalah beberapa isu paling paten untuk menghilangkan harapan bagi para pejabat publik yang ada sekarang untuk menjabat kedua kalinya. Tinggal cari data pengalokasian dan atau pencadangan lahan yang telah dilakukan, seberapa yang masih ada dan dimanakah tanah bebas yang masih dapat dimillki rakyat? Petak Danum adalah hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan adalah hajad hidup orang banyak. Membakar ladang adalah upaya untuk tetap hidup. Haruskah kita menghilangkan sumber penghidupan para peladang atas nama Climate Change dan Global Warming?!!, atau sebuah popularitas?, sehingga dengan bangga saya berkata “saya mampu atasi asap!”. Oh... sungguh, betapa kurang bijaknya kita menyikapi isu dan politik dunia terutama negara Industri tentang lingkungan hidup. Semoga saja Darmae Nasir yang keliru, bukan Bapak-bapak para pemimpin Kalimantan Tengah. Kepada berbagai pihak yang saya sebutkan dalam surat ini, saya juga secara terbuka memohon maaf bila tidak berkenan, inilah demokrasi, beda pendapat bukan berarti untuk menjatuhkan, beda pendapat adalah sebuah kekayaan, beda pendapat adalah sebuah opsi untuk pencerahan dan dapat dijadikan bahan untuk melangkah lebih bijak pada masa-masa yang akan datang, termasuk juga bagi penulis. Lalu apa solusinya? Berdasarkan hal-hal yang saya pelajari sampai pada saat ini saya mempunyai kesimpulan bahwa untuk jangka pendek (s/d 5 tahun kedepan) , pembakaran ladang diperbolehkan dengan terkendali. Solusi jangka panjangnya adalah mengembangkan apa yang disebut sebagai “sustainable integrated farming”. Konsep ini akan dengan bijak mengkombinasikan isu konservasi/ecology dengan masalah produksi/ekonomi”. Seperti apakah itu, nanti kita bisa ketemu dalam tulisan berikutnya.

Thx.... Kalteng Post 6 okt 2007


Tuhan Punya Skenario yg baik Dalam HidupKU...!!!

Ku tak akan pernah menyerah pada apapun juga..Sebelum kucoba semua yg kubisa...!!!. Tetapi ku berserah kepada kehendakMu..Hatiku percaya Tuhan punya rencana...!!! Lagu ini jawaban buat masalah yg g lg alami Saat ini.. Karna Tuhan udah punya skenario yg terbaik buat Hidup g...!!!

Jumat, 12 Oktober 2007

Karet Lebih Ekonomis dari Sawit


Senin, 6 Agustus 2007
Farinthis : Mayoritas Rakyat Minta Tanaman Karet
PALANGKA RAYA – Tanama karet lebih tinggi nilai ekonomisnya dibandingkan dengan tanaman kepala sawit. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Farinthis Sulaiman.

Lalu kenapa justru porsi programkan revitalisasi justru lebih besar untuk pengembangan tanaman sawit (420.000 Ha) dibandingkan karet (122.000 Ha), menurut Farinthis semua itu keinginan masing-masing bupati.

“Semua yang menentukan adalah bupati dan bukan provinsi. Mayoritas rakyat Kalteng minta tanaman karet. Tetapi, bupatinya sendiri minta sawit. Jadi, kalau demikian, siapa yang tidah bisa mengawal strategi ini, bupati atau provinsi?” ungkap Farinthis kepada Koran ini beberapa waktu lalu.

Padahala program revitalisasi perkebunan merupakan salah satu cara untuk pengentasan kemiskinan, mengingat perkebunan sangat strategis. Indikatornya adalah, penggunaan lahan yang disediakan cukup besar, investasi yang masuk nilainya mencapai puluhan triliun.

“Luas perkebunan di Kalteng totalnya sudah mencapai empat juta hektar. sementara untuk perkebuan besar swasta (PBS) saja, nilai investasinya mencapai Rp17 triliun, belum lagi perkebunan rakyat yang sudah ada, ditambah lagi rencana revitalisasi yang akan datang sebesar Rp14 triliun. Ini membuktikan, pembangunan perkebunan begitu sangat strategis. Sebab, selain penggunaan ruang dan lahan yang besar, juga investasi yang sudah, sedang dan akan berlangsung nilai totalnya bisa mencapai ratusan triliun,” jelas Farinthis lagi.

Dia kembali mengemukakan, revitalisasi perkebunan yang disiapkan bagi para petani yang mendaftar di kabupaten—kotanya masing-masing per kepala keluarga (KK) disediakan lahan maksimal empat hektar, baik untuk perkebunan sawit maupun perkebunan karet. Diutarakannya, untuk setiap satu hektar sawit atau karet, kalau sudah panen mampu menghasilkan Rp1 juta lebih per bulan. Jadi kalau empat hektar maka para petani itu mendapat Rp4 juta per bulan. Katanya, nilai ini jauh lebih besar ketimbang pendapatannya di kantor. Maka, program ini, menjadi tekadnya, dalam rangka pengentasan kemiskinan di Kalteng.

“Sangat jarang ada petani sawah bisa naik haji dari hasil pertaniannya. Tapi, kalau dari berkebun, sudah bisa dibuktikan. Jadi, berkebun nilai ekonomisnya sangat tinggi disbanding pertanian. Kalau saja program revitalisasi perkebunan ini berhasil, paling lama di tahun 2015, akngka kemiskinan dapat terhapus semua menjadi nol,” ujarnya. (her)

Kamis, 11 Oktober 2007

WALHI Segel Kantor Dishut

WALHI Segel Kantor Dishut
Dicap Sebagai Dinas Perusak Hutan Kalteng

PALANGKA RAYA – Puluhan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah (Kalteng) melakukan aksi penyegelan pintu masuk Kantor Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Kalteng, Kamis (15/8). Mereka juga melakukan orasi yang dipimpin langsung Direktur Eksekutif WALHI Kalteng Satriadi.

Penyegelan pintu masuk kantor Dishut yang terletak di Jalan Imam Bonjol tersebut dilakukan dengan memasangkan spanduk yang bertuliskan "Dinas Kehutanan, Dinas Perusak Kawasan Hutan".

Dalam aksinya, aktivis WALHI juga membagi-bagikan selebaran yang bertema "Merdeka dari Bencana Ekologis" kepada para pengguna jalan yang melintas di kawasan tersebut.

Dalam orasinya yang hanya beberapa menit, Satriadi memberikan penawaran kepada Dishut agar menghentikan eksploitasi sumber-sumber kehidupan rakyat. Kemudian, melakukan redistribusi sumber-sumber kehidupan kepada rakyat serta memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengelolanya, sesuai dengan sistem kearifan lokal. Selain itu, agar menggunakan pendekatan bioregion dalam kebijakan lingkungan.

Hal yang lebih penting katanya, adalah upaya untuk menyelamatkan hutan Kalteng. Dengan menerapkan atau mengusulkan moratorium, yakni penghentian pembalakan kayu skala industri dan ekspor.

"Dalam rangka menahan dan mengurangi laju bencana ekologis, diperlukan beberapa pra syarat. Antara lain reorientasi visi pembangunan dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development), menjadi masyarakat berkelanjutan (sustainable societies). Selain itu, mengedepankan pendekatan bioregion dan meninggalkan paradigma sektoral, dalam pengelolaan aset alam dan wilayah, serta menyelesaikan konflik agraria dan sumber daya alam," tegasnya.

Selanjutnya, mengembangkan partisipasi sejati rakyat dalam pembangunan. Dengan indikator organisasi rakyat yang kuat, kritis dan mandiri. membangun resiliensi dan resistensi rakyat terhadap privatisasi dan komodifikasi sumber kehidupan. Juga mengakui kearifan lokal dan menduduki kembali peran negara sebagai penjamin hak konstitusional warga negara.

"Pada momen HUT ke-62 RI kali ini, WALHI Kalteng juga meminta kepada semua kelompok massa kritis, untuk bersama-sama menghentikan laju ketidakadilan lingkungan yang bermuara pada bencana ekologis. Dengan melakukan aktivitas konkret dan mengembangkan budaya konsumsi serta produksi cinta lingkungan. Agar bersama-sama membangun massa kritis untuk menghindarkan bencana ekologis. Kemudian mempromosikan pendekatan bioregion, sebagai prasyarat perubahan paradigma yang utama," ucapnya.

Kadishut Tak di Tempat

Ketika orasi berlangsung, sontak membuat kaget semua pegawai di lingkungan Dinas Kehutanan (Dishut). Para pegawai yang sedang bekerja, lantas berhamburan keluar menyaksikan orasi yang dilakukan oleh WALHI. Namun sayangnya, saat itu Kepala Dishut (Kadishut) Kalteng, Anang Acil Rumbang, tak ada di tempat karena sedang mengikuti acara di Kantor Gubenur.

Pantauan koran ini, ketika anggota WALHI berusaha menyegel halaman kantor Dishut, dengan memasang spanduk "Dinas Perusak Kawasan Hutan Kalteng", para pegawai di instansi tersebut dengan sigap menarik spanduk, dan langsung menyimpannya. Tetapi aksi tersebut tidak sampai terjadi adu fisik, hanya adu mulut biasa.

Setelah puas melakukan aksinya, anggota WALHI langsung saja meninggalkan lingkungan Dishut, tanpa meminta penjelasan lebih lanjut dari instansi tersebut. Dengan alasan, aksi yang dilakukan sudah cukup jelas maksud dan tujuannya.

Melihat aksi yang dilakukan WALHI, salah satu pegawai Dishut yang tidak mau disebutkan namanya, menilai aksi tersebut tergolong premanisme.

"Mengapa WALHI berorasi tanpa konfirmasi dulu dengan Dishut. Malah seusai melakukan aksinya, langsung saja kabur tanpa ada penyelesaian yang jelas. Apa maksudnya semua ini," ujarnya kepada koran ini.

Saat diminta konfirmasi tentang aksi yang dilakukan WALHI, dia tidak mau komentar dan menyarankan wartawan menanyakan langsung kepada Kadishut.

Kegagalan Fungsional Dishut

Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Kalteng, Satriadi sebelumnya kepada wartawan menyatakan bahwa kerusakan hutan alam Kalteng tak lepas dari praktik pembiaran oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan (Dishut).

Dinas yang semestinya menjaga keberlanjutan hutan alam Kalteng, kata Satriadi, justru menjadi penyebab kerusakan, yang diakibatkan gagalnya fungsional dari dinas tersebut. Pemerintah juga tidak memberi sanksi tegas, terhadap berbagai praktik yang dilakukan oleh berbagai pihak. Yang selama ini bertanggung jawab terhadap pelaku perusakan hutan.

"Berdasarkan data yang kami himpun, mulai tahun 1999 laju deforestasi (penebangan hutan, red) Kalteng per tahun, akibat pelepasan kawasan hutan menjadi kebun, mencapai 255.918 hektare. Hingga tahun 2007, deforestasi telah mencapai 2.559.180 hektare. Jika melihat keadaan tersebut, dinas yang berwenang untuk mengelola hutanlah, yang semestinya bertanggung jawab, yaitu Dishut," ucap Satriadi kepada wartawan saat menggelar jumpa pers, di kantor WALHI, Rabu (15/8) pagi.

Selain itu, lanjutnya, laju deforestasi juga didukung oleh carut-marutnya tata kelola kehutanan dan tumpang tindih kewenangan. Bahkan pemberian izin pemanfaatan kayu (IPK) juga memiliki andil, atas lajunya kerusakan hutan.

"Sebagai contoh adalah tindakan yang dilakukan oleh Dishut Kabupaten Gunung Mas, yang begitu berani mengeluarkan IPK trans, atau IPK yang lahannya diperuntukkan untuk kawasan transmigrasi seluas 12.500 hektare. Padahal, belum ada persetujuan dan belum jelas kapan trasmigrasinya masuk di kawasan tersebut. Hal ini semestinya tidak perlu terjadi, jika memang ada kemauan untuk menjaga dan memelihara keberlanjutan hutan. Yang lebih penting, ada kemauan untuk menegakkan aturan hukum, terkait dengan hukum kehutanan," tegasnya.

Satriadi menilai, selama ini Dishut tidak pernah menerapkan sanksi apapun kepada perusahaan-perusahaan yang mengantongi IPK dan hak pengusahaan hutan (HPH). Yang secara jelas, dalam operasionalnya telah menyalahi aturan. Bahkan cenderung melakukan praktik-praktik illegal logging.

"Dishut cenderung melalaikan beberapa hal, yang secara substansi justru berperan besar dalam proses perusakan kawasan hutan. Menaikkan pendapatan dari sektor kehutanan, tidak boleh dijawab dengan melakukan pembiaran, atas berbagai praktik perusakan yang terjadi. Bencana ekologis yang ditimbulkan dari ekstraktif industri ini sudah terlalu banyak. Untuk itu, Dishut harus bertanggung jawab atas sejumlah kegagalan fungsionalnya," tegasnya. (dha)

Perusahaan Sawit Diminta Peduli

Jumat, 15 Juni 2007
Perusahaan Sawit Diminta Peduli
Gubernur : Jika Tak Bisa Bantu, Untuk Apa Membuka Usahanya di Kalteng
PALANGKA RAYA - Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang SH meminta, kepada para pengusaha perkebunan sawit yang ada, peduli dengan masalah yang dihadapi masyarakat. Permintaan ini menyusul, masih belum stabilnya harga minyak goreng di pasaran.

“Pengusaha CPO harus punya kebijakan untuk bantu Kalteng, supaya bisa menemukan jalan keluar atas kesulitan harga minyak goreng yang dialami selama ini. Jika tidak bisa, untuk apa membuka usahanya di Kalteng. Artinya, para pengusaha sawit tidak memperhatikan kepentingan daerah. Padahal, daerah jelas-jelas telah memberikan peluang usaha bagi perusahaan perkebunan sawit sendiri,” kata Teras, tiga hari lalu.

Teras meminta, perusahaan harus ada rasa kasihan terhadap masyarakat. Untuk itu, ia menuntut para perusahaan perkebunan sawit di Kalteng, supaya menaruh kepedulian dengan cara memperhatikan kondisi di masyarakat. “Dalam hal ini, rakyat bukannya meminta, melainkan membeli. Hanya saja, dengan harga yang wajar,” ujar Teras.

Jangan sampai seperti pribahasa, ada tikus mati di lumbung padi sendiri. Ibaratnya, lanjut Teras, Kalteng yang banyak memiliki perkebunan sawit, tetapi ternyata kebun sawit itu sendiri tidak bermanfaat sama sekali bagi kepentingan rakyat. “Saya mewanti-wanti, jangan sampai perusahaan hanya mengurus dirinya sendiri saja, tanpa memperhatikan sekitarnya,” tegas Teras.

Kepada Pemerintah Pusat, saya sangat berharap, pemerintah pusat dapat menaikkan kembali bea ekspor migor ke luar negeri. Tujuannya, supaya ada perimbangan harga pasar di dalam negeri. “Sebab, saya melihatnya ada kecenderungan para pengusaha pabrik melempar (mengekspor) CPO-nya keluar. Mengingat, harga CPO di luar negeri jauh lebih tinggi ketimbang di dalam negeri,” ungkapnya.

Sementara, Ketua Gabungan Asosiasi Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (GAPKI) Kalteng, Teguh Patriawan menjelaskan, para perkebunan sawit di Kalteng tidak ada satu pun yang memiliki pabrikan. Semua CPO di kirim ke Jawa, dan setelah menjadi minyak goreng kembali dijual ke pasaran termasuk di daerah Kalteng. Jadi, menurutnya, semua mekanisme pasar yang menentukan harga menjadi tinggi adalah pabrik.

“Saya hanya bisa menyarankan, gubernur harus mengusulkan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan, untuk mengupayakan supaya pabrikan dapat membantu Kalteng dalam hal, pasokan bahan minyak goreng,” jelas Teguh, per telepon. (her)

Sengketa Lahan Belum Berakhir

MUARA TEWEH – Pembahasan sengketa lahan, antara PT Antang Ganda Utama (AGU) dengan warga tujuh desa, khususnya Desa Majangkan, Kecamatan Gunung Timang, Barito Utara (Batara) terus berkepanjangan. Kedua pihak bertemu, kemarin, tapi belum ada solusi.

Pembahasan di ruang rapat Setkab Batara ini dipimpin Wakil Bupati Oemar Zaki Hebanoeddin dan Plt Sekda Batara Harillata A Basel. Pihak AGU diwakili beberapa manager, sedangkan dari Desa Majangkan hadir puluhan perwakilan yang dipercayakan oleh warga.

Sama seperti pertemuan tanggal 21 Juli 2006 lalu, Ferdinan selaku perwakilan warga Majangkan minta PT AGU secepatnya merealisasikan pola kemitraan, karena lahan sudah tersedia. “Masyarakat tidak tahu soal hak guna usaha (HGU). Dari dulu lahan dicanangkan untuk pola kemitraan. Sekarang sudah tiga ribu hektar lahan dibuka, sehingga masyarakat menunggu realisasi kemitraan,” kata Ferdinan.

Saat bertemu koran ini di sela-sela rehat, Ferdinan mengatakan, warga Majangkan tetap melarang perusahaan menanam di atas lahan seluas 1.500 hektar itu, sebelum ada kesepakatan soal pola kemitraan. “Warga tidak mengizinkan penanaman (kelapa, Red) sawit. Kami mendukung kalau pemerintah hendak mendata batas desa dan kecamatan, karena selama ini Kecamatan Gunung Timang tidak disebut-sebut (untuk kemitraan, Red),” kata Ferdinan.

Ditambahkannya, warga Desa Majangkan sudah meminta perusahaan tak melakukan kegiatan lapangan, sebelum muncul kesepakatan seputar kemitraan. “Intinya masyarakat dilibatkan dalam pola kemitraan, masyarakat bermitra dengan PT AGU,” ujarnya.

Bagaimana sikap PT AGU? General Manager Community Development Iwan Eko mengatakan, semua pihak harus melihat keberadaan PT AGU secara global. Lokasi kebun kelapa sawit berada di Kecamatan Teweh Tengah, Gunung Timang, dan Montallat.

“PT AGU sudah membangun lahan kemitraan seluas 102 hektar di Teweh Tengah dan akan menyusul di kecamatan lain. Sejak dua minggu lalu, peralatan berada di Rarawa. Selama ini PT AGU sudah membuka total 198 hektar kebun kemitraan. Dananya berasal dari kantong sendiri berupa dana reviltalisasi. Kita ingin pola ini masuk ke kecamatan lain. Tapi PT AGU berharap, ketika sedang memegang HGU, maka itu harus diakui merupakan hak atas tanah yang berlaku,” sebut Eko.

Eko berharap, ada alternatif lain yang bisa ditemukan dua pihak, sehingga tak membatalkan HGU. “Kita tentu bertanya, apa tidak ada lagi lahan lain. Kita memerlukan investasi lahan selama 1-2 tahun. Tentunya di luar pembatalan HGU, bisa dicari solusi alternatif yang dapat diterima kedua pihak. Kalau membatalkan HGU, kita tidak punya lahan lagi,” akui Eko, kemarin siang.

Sedangkan Plt Sekda Batara Harillata A Basel mengatakan, posisi Pemkab Batara sebagai fasilitator bagi kedua pihak. Penentuan batas wilayah menjadi prioritas yang akan diselesaikan pemkab. “Supaya semuanya menjadi jelas dan dua pihak bisa bersinergi,” papar Harillata.

Hasil pertemuan ini membuat beberapa kesimpulan. Antara lain proses tata batas ditangani mulai minggu ke-3 bulan Agustus 2006, penanganan tata batas secara administratif/peta secara verbal, tata batas kecamatan, dan desa dilaksanakan oleh aparat terkait, pihak perusahaan tetap berupaya membangun kemitraan di areal luar kebun yang sudah memiliki HGU, pengembalian tata batas HGU tetap menjadi kebun inti, sedangkan masyarakat menginginkan kemitraan. (kia)

Jumat, 28 September 2007

Dalam RTRWP Memang Ada Kepentingan

21 juli 2007
Borak : Apakah SOB Ingin Investasi Tak Boleh Masuk Kalteng?
PALANGKA RAYA - Dalam penyusunan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah (Kalteng) memang ada kepentingan berbagai pihak. Seperti kepentingan pemerintah, masyarakat dan swasta.

Hal itu ditegaskan Ketua Komisi B DPRD Provinsi Kalteng yang juga ketua panitia khusus (pansus) Raperda RTRWP, Borak Milton, saat dimintai tanggapan terkait pernyataan Koordinator Save Our Borneo (SOB) Nordin yang menyarankan agar reperda RTRWP dibongkar ulang, karena sarat kepentingan investasi dan bagi-bagi lahan.

Borak juga menegaskan bahwa RTRWP memang untuk bagi-bagi lahan. Tujuannya supaya para pengusaha perkebunan, tambang atau kehutanan ini tidak secara liar dalam memanfaatkan kawasan yang dibagi-bagi tersebut.

Kader PDI Perjuangan ini mengatakan, ruang yang ada di wilayah Provinsi Kalteng harus ditata secara benar, supaya dalam pemanfaatannya nanti tidak seenak perutnya sendiri-sendiri. Sebab bila tidak ditata, mungkin nanti ada yang berkebun di puncak bukit atau bertambang di tengah kota.

“Nah, apa SOB maunya liar? Atau menginginkan Kalteng tidak boleh menerima masuknya investasi atau menolak para pengusaha yang mengajukan permohonan kepada para bupati untuk berkebun, bertambang dan lainnya? Apa cuma mau orangutan saja yang dipelihara?” Ucap Borak yang mengaku sedang berada di Jakarta ketika dihubungi koran ini, Jumat (20/7) siang.

Selain itu, ungkap Borak, adanya RTRWP juga supaya ada kepastian hukum. Karena dalam menyusun RTRWP sudah ada aturan atau undang-undangnya. Apalagi sudah empat kali termasuk yang sekarang, pemerintah pusat belum pernah mengesahkan usulan RTRWP Kalteng. Dan, inilah saatnya tata ruang wilayah Kalteng perlu diatur.

Karena itulah, pihaknya sangat mendukung upaya empat gubernur se-Kalimantan yang meminta dukungan politik dari Komisi IV DPR RI dalam penyelesaian RTRWP, yang hingga kini belum mendapat persetujuan dari pemerintah pusat.

Borak menambahkan, para gubernur di Kalimantan saja, khususnya Gubernur Kalteng yang konsen dan mengerti hukum menginginkan agar raperda RTRWP yang ada bisa secepatnya disahkan oleh pemerintah pusat. Sementara SOB justru menghendaki dibongkar lagi. “Karena itu, kami sarankan kepada SOB agar mempelajari dulu makna RTRWP,” ucapnya. (mad)

TATA RUANG

Penyusunan RTRWP Kedepankan Peran Masyarakat
PALANGKARAYA, PPost Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) RTRWP Kalteng yang sudah dip roses Pansus DPRD Kalteng dan kini macet ditingkat Departemen terkait, diminta untuk diproses penyusunan kembali.

Raperda tersebut dinilai tidak selaras dengan perundanganyang lebih tinggi yaitu UU Penataan Ruang No, 26 Tahun 2007 yang disahkan pada 26 April 2007 yang masuk dalam Lembaran Negara RI Nomor.4725. Mestinya penyusunan Raperda untukmemperkuat dan memperjelas peraturan yang lebih tinggi, yang terjadi justru sebaliknya. Sementara dari segi proses raperda itu sendiri, mestinya mngedepankan peran serta Masyarakat.

Hal tersebut diungkapkan Nordin,SE, coordinator Save Our Borneo (SOB) sebuah lembaga pemerhati lingkungan dalam siaran persnya dengan wartawan cetak dan elektronik dipalangkaraya, kamis (19/7) siang kemaren.

Terkait dengan penyusunan Raperda itu sendiri menurut Nordin, Pihaknya jauh-jauh hari pernah mengingatkan masalah ini, tetapi nampaknya pansus raperda RTRWP di DPRD Kalteng, tidak pernah memperhatikannya. Pihaknya juga menilai, penyusunan raperda RTRWP tersebut juga tidak melalui kajian akademik yang memadai, atau bahkan nampak tanpa naskah akademik sama sekali, dimana langsung muncul draft saja. Jadi penyusunannya betul-betul dengan proses yang tidak procedural. Dari segi proses pula, penyusunan raperda itu mestinya mengedepankan peran serta masyarakat, namun dengan alasan keterbatasan waktu dan biaya, hal tersebut tidak dilakukan.

Selain itu dalam batang tubuh Raperda RTRWP juga tidak memuat sanksi yang selaras dengan UU Penataan Ruang, dimana dalam UU No.26/2007 pasal 73 ayat 1 memuat…”Setiap pejabat Pemerintah Yang berwewenang yang menerbitkan ijin tidak sesuai dengan rencan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000,-

Raperda RTRWP Harus Dibongkar

20 juli 2007
Nordin : Sarat Kepentingan Investasi dan Bagi-bagi Lahan
Palangkaraya- Save Our Borneo (SOB) mendesak agar Rancangan Peraturan Daerah (Ra-perda) Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah Dibongkar ulang dan disusun kembali. Pasalnya, Raperda itu tidak selaras dengan Perundang-undangan diatasnya. Yaitu, UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang disahkan tanggal 26 April 2007 dan dimasukan kedalam lembaran Negara RI Nomor 4725.

“Perlunya raperda dibongkar ulang karena sarat kepentingan Investasi dan bagi-bagi lahan. Kami mensinyalir terburu-burunya penuntaan RTRWP karena adanya upaya mengubah fungsi kawasan tertentu. Khususnya, kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Penyususnan ini menjadi sangat kentar atas pesanan pemodal, bukan karma kebutuhan untuk emenuhi keadilan distribusi ruang bagi public. Atau, antisipasi ancaman bencana ekologis pada masa mendatang,” ujar coordinator SOB Nordin saat jumpa pers di LA CafĂ©, Hotel Lampang, Jalan Irian, kamis (19/7).

Dijelaskannya, data yang ada pada SOB menunjukan ada 446.455 hektare kawasan hutan baik hutan produksi maupun hutan produksi terbatas (HP/HPT) minta dilepas menjadi KPP/KPPL. Permintaan ini, ungkapnya, didominasi Perkebunan Sawit di Provinsi Kalteng. “Karena itu, Panitia Khusus (Pansus) RTRWP DPRD Kalteng sangat mendesak agar tata ruang yang ada segera diubah. Maksudnya, agar proses pemberian ijin-ijin yang ada menjadi legal dan tak bermasalah dengan hokum, “terangnya.

Menurut Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalteng ini, SOB pernah mengingatkan masalah tersebut. “ Tetapi, Pansus RTRWP DPRD Provinsi terkesan tutup telinga. Jika raperta tersebut diteruskan tanpa memuat substansi Undang-udang Nomor 26 Tahun 2007, maka tak akan dapat di registrasi departemen terkait ditingkat pusat. Sebab, raperda tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan UU diatasnya sehingga resikonya akan dibatalkan serta-merta,” kata Nordin.

Nordin mengutarakan, seharusnya penyusunan raperda justru memperkuat dan memperjelas aturan yang lebih tinggi diatasnya. Tetapi yang terjadi, jelasnya, justru membuat aturan menjadi lebih lunak atau sumir. Dalam hai ini, SOB mempertanyakan kredibilitas dan integritas pansus RTRWP DPRD Kalteng. Pasalnya, penyusunan raperda tidak melalui kajian akademik memadai. Bahkan, lanjut Nordin, tanpa naskah sama sekali, draft saja yang langsung muncul. “Jadi, penyusunan ini betul-betul tidak professional,” imbuhnya.

Dari segi proses yang seharusnya mengedepankan peran serta masyarakat, terangnya, dimanipulasi dengan alasan keterbatasan waktu dan biaya. “alasan tersebut sangat menggelikan dan menunjukan raperda ini jelas-jelas seperti sebuah barang pesanan dari berbagai pihak yang berkepentingan. Bukti lainnya, Perda Nomor 8 Tahun 2003 yang belum berumur 5 taun sudah direvisi. Ini menambah kejelasan revisi perda tata ruang merupakan barang pesanan,” Katanya.

Kemudian, ucap Nordin, Dalam batang tubuh raperda RTRWP tak emuat sanksi yang selaras dengan UU Nomor 26 Tahun 2007. Padahal, dalam Pasal 73 ayat 1 UU Penataan Ruang memuat sanksi bagi Pejabat Pemerintah berwewenang yang menerbitkan ijin tak sesuai rencana tata ruang sebagaimana pasal 37 ayat 7. Ancaman pada pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500 juta.

Pasal 73 ayat 2-nya memuat pelaku dapat dikenai biaya tambahan berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya. Sementara pasal 37 ayat 7 mengatakan, setiap pejabat pemerintah yang berwenang memberikan ijin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan ijin tak sesuai dengan rencana tata ruang.

“Dengan demikian, Raperda RTRWP yang disusun jelas-jelas bermak-sud mengamputasi UU Nomor 26 Tahun 2007. Dalam hal ini dapat dikatakan kalau raperda ini bertentangan dengan perundang-undangan lebih tinggi diatasnya,” pungkasnya. (def)

Nordin: Apa RTRWP yang Ada, Liar?

Senin, 23 Juli 2007
PALANGKA RAYA - Koordinator Save Our Borneo (SOB) Nordin mempertanyakan apakah selama ini peraturan daerah (perda) rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) yang telah ada masih liar. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Ketua Komisi B DPRD Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) Borak Milton yang mengatakan adanya RTRWP untuk penataan kawasan agar pengusaha perkebunan, tambang atau kehutanan tak seenak perutnya sendiri dalam memanfaatkan lahan.

“Seperti diketahui, selama ini ada Perda RTRWP Nomor 8 Tahun 2003. Apakah RTRWP tersebut liar? Itu yang mengatakan dia (Borak Milton, Red) sendiri lho. Kalau begitu keadaannya, jadi usaha perkebunan, pertambangan dan kehutanan selama ini masih liar. Padahal, masih ada RTRWP lama,” ujar Nordin kepada koran ini, Minggu (22/7).

Menurutnya, Ketua Komisi B DPRD Provinsi Kalteng juga mengakui kalau RTRWP untuk membagi-bagi lahan. Padahal, ucapnya, seharusnya RTRWP bertujuan menata Bumi Tambun Bungai menjadi ruang publik. Penataannya diselaraskan dengan upaya penanganan bencana, keadilan bagi masyarakat dan berwawasan lingkungan.

“Kawan-kawan di sana (panitia khusus/pansus RTRWP DPRD provinsi, Red) hanya menekankan bagi-bagi lahan tanpa memikirkan penataan yang disesuaikan dengan lingkungan dan keadilan bagi masyarakat. Kalau SOB diminta belajar makna RTRWP, justru kawan-kawan di pansus yang tak mengerti substansinya. Yaitu, apakah nantinya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dimasukkan dalam raperda RTRWP yang baru,” terangnya.

Mantan direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalteng ini kembali mengutarakan, raperda RTRWP yang sedang disiapkan sangat tak selaras dengan UU Nomor 26 Tahun 2007. “Atau, apa pansus RTRWP DPRD provinsi belum menerima UU tersebut? Kalau belum, ya saya kasih. Ayo kita (SOB dan pansus RTRWP, Red) sama-sama belajar untuk memaknai RTRWP. Dalam hal ini, tentu saja bukan SOB yang menyusun RTRWP. Saya sebagai rakyat minta diajari terkait SOB harus mempelajari makna RTRWP. Kalau saya yang ngajarin beliau (Borak), tak cocok. Sebab, dia adalah wakil rakyat. Namun, kalau ada yang berbelok, kami memberikan masukan dan saran,” ucapnya.

SOB, kata Nordin, kembali menuntut raperda RTRWP dibongkar ulang dengan memasukkan UU Nomor 26 Tahun 2007 sebagai konsidern utama. “Kalau tetap tidak memasukkan UU tersebut dalam substansi raperda dan kemudian DPRD mengesahkannya, bisa jadi kami mengambil langkah hukum. Kepada pansus, sebaiknya tidak perlu berbicara yang tak substansial. Sebab, itu menunjukkan kepanikan dan kedangkalan kajian akademik raperda tersebut,” tegasnya.

Sekadar mengingatkan, data yang ada pada SOB menunjukkan ada 446.455 hektare kawasan hutan produksi/hutan produksi terbatas (HP/HPT) minta dilepas menjadi kawasan pengembangan produksi/kawasan pemukiman dan penggunaan lainnya (KPP/KPPL). Permintaan ini didominasi perkebunan sawit di Provinsi Kalteng.

Menurut Nordin saat jumpa pers di LA Cafe Hotel Lampang, Jalan Irian, Kamis (19/7) lalu, dalam batang tubuh raperda RTRWP tak memuat sanksi yang selaras dengan UU Nomor 26 Tahun 2007. Padahal, dalam pasal 73 ayat 1 UU tersebut menetapkan adanya sanksi bagi pejabat pemerintah berwenang yang menerbitkan izin tak sesuai rencana tata ruang sebagaimana pasal 37 ayat 7. Ancaman pada pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

Pasal 73 ayat 2-nya memuat pelaku dapat dikenai biaya tambahan berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya. Sementara pasal 37 ayat 7 mengatakan, setiap pejabat pemerintah yang berwenang memberikan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin tak sesuai dengan rencana tata ruang. (def)

Masyarakat Adat Dayak kalimantan Tengah

Tipikal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah adalah Masyarakat Tradisional yang masih Kuat dan Erat Sekali dengan Hukum Adat. Keadaan itu membuat para Tokoh masyarakat seperti, Pengulu, Demang Kepala Adat atau para tetuha kampung masih dominan untuk menyelesaikan permasalahan dan persoalan di masyarakat (kapung).

Dalam pengelolaan Hutan dan Lahan masyarakat dayak Kalimantan Tengah selalu mengikuti tradisi local yang sarat dengan nilai-nilai kearifan local dan budaya-budaya local yang sudah diterapkan semenjak jaman nenek moyang dan hingga sampai saat sekarang ini. Saat berladang atau berhuma pola yang digunakan masyarakat adalah pola berladang gilir balik, dimana satu daerah yang diladangi masyarakat akan ditinggal beberapa waktu tertentu dan kemudian meninggalkannya untuk membukan lahan baru. Dan setelah ladang pertama tadi sudah subur kembali, maka masyarakat akan kembali untuk menyambungkan perkebunannya di lahan tersebut.

Dalam setiap kegiatan berladang, masyarakat selalu melakukan upacara-upacara atau ritual adat untuk memohon kepada Sang Penguasa untuk memberikan kesuburan tanah dan menjauhkan masyarakat dari bencana alam. Dan ini menunjukan bahwa Masyarakat Dayak kalimantan Tengah sangat dekat sekali dengan alamnya dan mempunyai semangat yang tinggi untuk pelestarian alam dan lingkungannya.



Bicara "SAWIT Artinya Bicara "BENCANA".....!!!

Makin tingginya permintaan akan minyak sawit dunia, membuat kita untuk memulai berbicara bencana bagi lingkungan alam dan juga bagi kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan akan minyak sawit dunia mendorong untuk penambahan jumlah luasan perkebunan kelapa sawit dan ini akan berimplikasi pada kerusakan lingkungan (hutan, air,tanah dan lainnya) dan akan membawa bencana pula bagi kehidupan masyarakat, seperti banjir, tanah longsor serta bisa menimbulkan berbagai macam penyakit. Dengan masuknya perkebunan kelapa sawit artinya akan memasukkan kaum penjajahan baru dalam bentuk penindasan ekonomi dinegeri sendiri.

Dengan dibukanya perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran berarti menghilangkan ekosystem dan semua aspek kehidupan masyarakat adat yang sangat dikenal arif dengan lingkungan sekitar. Yang dulunya kita hidup dari hasil-hasil hutan dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, seperti berkebun, berladang, bertani dan sebagainya tapi sekarang kita diancam dengan masuk pembangunan yang tidak berpihak pada masyarakat dan kita akan menghilangkan segala aspek sumber kehidupan yang kita miliki secara turun-temurun. Dan kita harus mengingat kembali dari sejarah masyarakat adat sejak jaman Nenek moyang kita dulu bahwa ”Masyarakat hidup bukanlah dari perkebunan kelapa sawit”. Dan dengan masuknya perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran juga akan menimbulkan berbagai macam persoalan-persoalan yang nantinya akan bisa menghadirkan serta memunculkan konflik horisontal antar sesama masyarakat.

Perkebunan kelapa sawit adalah pembangunan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat (versi pemerintah dan investor), tapi pada kenyataan riil yang dilakukan adalah semata-mata hanyalah demi sebuah kepentingan segelintir orang saja.

Bicara sawit berarti kita berbicara penindasan yang terjadi atau yang ditimbulkan dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang sedang terjadi dan yang akan kita hadapi di masa-masa yang akan datang. Dimana pemerintah dan pengusaha dengan sengaja telah mengkondisikan masyarakat agar menjadi tertindas dalam segala bentuk, baik ekonomi, budaya, politik dan keamanan. Mereka bisa memangsa apa saja termasuk aparat penegak hukum, Polisi, Pengadilan, demi keamanan berinvestasi yang kondusif. Dan bahkan mampu melakukan intervensi-intervensi dalam perumusan kebijakan, membuat dan merubah undang-undang yang berpihak pada kepentingannya.

Pembukaan perkebunan kelapa sawit skala besar otomatis akan membabat habis semua yang ada dilokasi lahan yang luasnya hingga ribuan bahkan bisa mencapai jutaan hektar dan yang semula disitu ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan, binatang, sungai yang sudah terkolaborasi sejak puluhan bahkan ratusan tahun lamanya, dengan sekejap mata saja akan berubah menjadi hamparan hijau tanaman kelapa sawit yang hanya hidup satu jenis saja dan ini akan membuat ekosistem (rantai kehidupan) masyarakat menjadi rusak serta budaya-budaya lokal yang selama ini di kenal arif dengan masyarakat akan hilang.

Mengingat begitu besarnya dampak dari perkebunan kelapa sawit bagi keutuhan lingkungan dan kehidupan manusia maka kita bisa berpikir ulang seribu kali untuk menerima masuknya perkebunan kelapa sawit skala besar serta budaya-budaya baru yang akan menghilangkan segala macam jenis tumbuh-tumbuhan asli.

Dalam kontek gerakan lingkungan tantangan yang semakin besar dimasa-masa yang akan datang, mengharuskan kita untuk melakukan reposisi, artinya gerakan lingkungan menjadi gerakan sosial. Ini adalah salah satu langkah persiapan untuk menghadapi dominasi pasar dan globalisasi dimasa yang akan datang. Karna pemerintah tidak lagi mempunyai fungsi sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat, karna perannya telah dihilangkan oleh arus globalisasi dan pasar bebas. Oleh karna nya, mulai sekarang kita perlu merapatkan barisan, agar komunikasi dan kesadaran hak atas lingkungan bisa terjalin dan kian dieratkan.

Sebagai aktivis gerakan peduli lingkungan, atau siapa pun dia maka secara bersama-sama mencoba untuk membangun kekompakan dan persatuan yang berasal dari bawah (basis bawah) guna melawan penindasan dan penjajahan baru yang selama ini terjadi ditengah-tengah masyarakat. Dengan demikian kita wajib secara bersama-sama mulai BELAJAR bagaimana caranya memberdayakan semua potensi sumber daya alam yang kita miliki, bagaimana bekerjasama dengan warga lain untuk menciptakan persatuan dan kebersamaan dalam sebuah gerakan lingkungan, menyatakan sikap kita secara transparan kepada sesama masyarakat tertindas, mempengaruhi kebijakan resmi yang tidak berpihak pada masyarakat dan belajar menghadapi lawan atau musuh bersama yang juga merupakan hambatan sebuah gerakan dan perjuangan masyarakat. Kita jangan tinggal diam, karna ”DIAM SAMA ARTINYA MEMPERPANJANG GARIS PENINDASAN”.

Perkebunan kelapa sawit yang berkembang di indonesia sekarang ini membawa kita untuk menuju sebuah pederitaan yang berkepanjangan jika itu tidak mulai sekarang kita secara kolektif untuk tindak bersama dan sadar atas hak-hak kelola kita, kita sedang berhadapan dengan sebuah sistem yang nyata-nyata mebodohi serta merusak lingkungan dan hutan/lahan kita. Salah satu solusi untuk berjuang mempertahankan hak-hak atas sumber daya alam kita yaitu mulai dari kesadaran hati nurani kita sendiri, kita tidak bisa selalu berharap penuh dari uluran-uluran tangan orang lain yang membantu kita tetapi melainkan kita munculkan dari kesadaran diri kita sendiri bahwa kita sedang ditindas.