Kamis, 11 Oktober 2007

WALHI Segel Kantor Dishut

WALHI Segel Kantor Dishut
Dicap Sebagai Dinas Perusak Hutan Kalteng

PALANGKA RAYA – Puluhan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah (Kalteng) melakukan aksi penyegelan pintu masuk Kantor Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Kalteng, Kamis (15/8). Mereka juga melakukan orasi yang dipimpin langsung Direktur Eksekutif WALHI Kalteng Satriadi.

Penyegelan pintu masuk kantor Dishut yang terletak di Jalan Imam Bonjol tersebut dilakukan dengan memasangkan spanduk yang bertuliskan "Dinas Kehutanan, Dinas Perusak Kawasan Hutan".

Dalam aksinya, aktivis WALHI juga membagi-bagikan selebaran yang bertema "Merdeka dari Bencana Ekologis" kepada para pengguna jalan yang melintas di kawasan tersebut.

Dalam orasinya yang hanya beberapa menit, Satriadi memberikan penawaran kepada Dishut agar menghentikan eksploitasi sumber-sumber kehidupan rakyat. Kemudian, melakukan redistribusi sumber-sumber kehidupan kepada rakyat serta memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengelolanya, sesuai dengan sistem kearifan lokal. Selain itu, agar menggunakan pendekatan bioregion dalam kebijakan lingkungan.

Hal yang lebih penting katanya, adalah upaya untuk menyelamatkan hutan Kalteng. Dengan menerapkan atau mengusulkan moratorium, yakni penghentian pembalakan kayu skala industri dan ekspor.

"Dalam rangka menahan dan mengurangi laju bencana ekologis, diperlukan beberapa pra syarat. Antara lain reorientasi visi pembangunan dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development), menjadi masyarakat berkelanjutan (sustainable societies). Selain itu, mengedepankan pendekatan bioregion dan meninggalkan paradigma sektoral, dalam pengelolaan aset alam dan wilayah, serta menyelesaikan konflik agraria dan sumber daya alam," tegasnya.

Selanjutnya, mengembangkan partisipasi sejati rakyat dalam pembangunan. Dengan indikator organisasi rakyat yang kuat, kritis dan mandiri. membangun resiliensi dan resistensi rakyat terhadap privatisasi dan komodifikasi sumber kehidupan. Juga mengakui kearifan lokal dan menduduki kembali peran negara sebagai penjamin hak konstitusional warga negara.

"Pada momen HUT ke-62 RI kali ini, WALHI Kalteng juga meminta kepada semua kelompok massa kritis, untuk bersama-sama menghentikan laju ketidakadilan lingkungan yang bermuara pada bencana ekologis. Dengan melakukan aktivitas konkret dan mengembangkan budaya konsumsi serta produksi cinta lingkungan. Agar bersama-sama membangun massa kritis untuk menghindarkan bencana ekologis. Kemudian mempromosikan pendekatan bioregion, sebagai prasyarat perubahan paradigma yang utama," ucapnya.

Kadishut Tak di Tempat

Ketika orasi berlangsung, sontak membuat kaget semua pegawai di lingkungan Dinas Kehutanan (Dishut). Para pegawai yang sedang bekerja, lantas berhamburan keluar menyaksikan orasi yang dilakukan oleh WALHI. Namun sayangnya, saat itu Kepala Dishut (Kadishut) Kalteng, Anang Acil Rumbang, tak ada di tempat karena sedang mengikuti acara di Kantor Gubenur.

Pantauan koran ini, ketika anggota WALHI berusaha menyegel halaman kantor Dishut, dengan memasang spanduk "Dinas Perusak Kawasan Hutan Kalteng", para pegawai di instansi tersebut dengan sigap menarik spanduk, dan langsung menyimpannya. Tetapi aksi tersebut tidak sampai terjadi adu fisik, hanya adu mulut biasa.

Setelah puas melakukan aksinya, anggota WALHI langsung saja meninggalkan lingkungan Dishut, tanpa meminta penjelasan lebih lanjut dari instansi tersebut. Dengan alasan, aksi yang dilakukan sudah cukup jelas maksud dan tujuannya.

Melihat aksi yang dilakukan WALHI, salah satu pegawai Dishut yang tidak mau disebutkan namanya, menilai aksi tersebut tergolong premanisme.

"Mengapa WALHI berorasi tanpa konfirmasi dulu dengan Dishut. Malah seusai melakukan aksinya, langsung saja kabur tanpa ada penyelesaian yang jelas. Apa maksudnya semua ini," ujarnya kepada koran ini.

Saat diminta konfirmasi tentang aksi yang dilakukan WALHI, dia tidak mau komentar dan menyarankan wartawan menanyakan langsung kepada Kadishut.

Kegagalan Fungsional Dishut

Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Kalteng, Satriadi sebelumnya kepada wartawan menyatakan bahwa kerusakan hutan alam Kalteng tak lepas dari praktik pembiaran oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan (Dishut).

Dinas yang semestinya menjaga keberlanjutan hutan alam Kalteng, kata Satriadi, justru menjadi penyebab kerusakan, yang diakibatkan gagalnya fungsional dari dinas tersebut. Pemerintah juga tidak memberi sanksi tegas, terhadap berbagai praktik yang dilakukan oleh berbagai pihak. Yang selama ini bertanggung jawab terhadap pelaku perusakan hutan.

"Berdasarkan data yang kami himpun, mulai tahun 1999 laju deforestasi (penebangan hutan, red) Kalteng per tahun, akibat pelepasan kawasan hutan menjadi kebun, mencapai 255.918 hektare. Hingga tahun 2007, deforestasi telah mencapai 2.559.180 hektare. Jika melihat keadaan tersebut, dinas yang berwenang untuk mengelola hutanlah, yang semestinya bertanggung jawab, yaitu Dishut," ucap Satriadi kepada wartawan saat menggelar jumpa pers, di kantor WALHI, Rabu (15/8) pagi.

Selain itu, lanjutnya, laju deforestasi juga didukung oleh carut-marutnya tata kelola kehutanan dan tumpang tindih kewenangan. Bahkan pemberian izin pemanfaatan kayu (IPK) juga memiliki andil, atas lajunya kerusakan hutan.

"Sebagai contoh adalah tindakan yang dilakukan oleh Dishut Kabupaten Gunung Mas, yang begitu berani mengeluarkan IPK trans, atau IPK yang lahannya diperuntukkan untuk kawasan transmigrasi seluas 12.500 hektare. Padahal, belum ada persetujuan dan belum jelas kapan trasmigrasinya masuk di kawasan tersebut. Hal ini semestinya tidak perlu terjadi, jika memang ada kemauan untuk menjaga dan memelihara keberlanjutan hutan. Yang lebih penting, ada kemauan untuk menegakkan aturan hukum, terkait dengan hukum kehutanan," tegasnya.

Satriadi menilai, selama ini Dishut tidak pernah menerapkan sanksi apapun kepada perusahaan-perusahaan yang mengantongi IPK dan hak pengusahaan hutan (HPH). Yang secara jelas, dalam operasionalnya telah menyalahi aturan. Bahkan cenderung melakukan praktik-praktik illegal logging.

"Dishut cenderung melalaikan beberapa hal, yang secara substansi justru berperan besar dalam proses perusakan kawasan hutan. Menaikkan pendapatan dari sektor kehutanan, tidak boleh dijawab dengan melakukan pembiaran, atas berbagai praktik perusakan yang terjadi. Bencana ekologis yang ditimbulkan dari ekstraktif industri ini sudah terlalu banyak. Untuk itu, Dishut harus bertanggung jawab atas sejumlah kegagalan fungsionalnya," tegasnya. (dha)

Tidak ada komentar: