Senin, 15 Oktober 2007

Himbawan, Saran dan Renungan Terhadap Sebuah Kebijakan


"Sebuah Renungan Untuk Kebijakan Tentang Larangan Pembakaran Lahan Untuk Ladang"


Surat ini saya sampaikan sebagai bentuk kepedulian dan keprihatinan saya terhadap mekanisme pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan publik yang sedang terjadi di pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, dalam hal ini adalah larangan untuk pembakaran lahan untuk ladang.

Sebagai bentuk sebuah kejujuran, surat ini juga saya sampaikan karena saya juga mempunyai lahan siap bakar yang akan saya pergunakan untuk ladang dan selanjutnya akan saya gunakan sebagai lahan untuk menanam karet dan buah-buahan, cara saya ikut membantu program ketahanan pangan dan program revitalilsasi perkebunan secara mandiri dan mewariskan sesuatu untuk keturunan saya.

Bapak Gubernur Kalimantan Tengah, Bupati/Walikota, Kapolda Kalteng, Kapolres se Kalimantan Tengah serta Direktur CKPP yang terhormat.

Saya selaku warga asli Dayak Kalimantan Tengah yang pernah berladang dan mungkin cukup mengenal suku Dayak dan masyarakat Kalimantan Tengah, cukup berpendidikan di dalam dan luar negeri, cukup melek melihat dan cukup punya wawasan mengenai lingkungan hidup, pernah berkunjung ke hampir seluruh Kalimantan Tengah, dari pesisir pantai hingga kehulu-hulu sungai, dengan ini menyampaikan dengan harmat kepada Gubernur Kalimantan Tengah, Bupati/Walikota, Kapolda Kalteng, Kapolres se Kalimantan Tengah dan Direktur CKPP hal-hal sebagai berikut:

1. Larangan membakar lahan untuk ladang adalah kebijakan yang kurang tepat dan nantinya (cepat atau lambat) akan membuat orang Dayak dan masyarakat peladang Kalimantan Tengah menjadi manusia yang tidak mempunyai martabat karena akan banyak yang menjadi jipen (budak), yang sebelumnya mandiri, menjadi pengemis dengan menggantungkan hidup pada Jatah Hidup (jadup). Bapak Pejabat Politis dan Direktur CKPP yang terhormat ada dua hal yang menjadi dasar pemikiran saya yaitu; Dasar pikir pertama adalah tentang Katahanan Pangan: Ketahanan pangan adalah prioritas kegiatan pertanian orang Dayak sejak dulu. Berladang dengan membakar (slash and burn kata orang bule) adalah sebuah cara masyarakat Dayak Kalimantan Tengah untuk mengatasi tingkat kesuburan (unsur hara) dan cara olah tanah yang umumnya memerlukan perlakuan khsusus sesuai dengan jenis tanaman yang ingin ditanam. Bukan cara primitif seperti kata HR. Putih dalam tulisannya, tetapi cara arif sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya dalam mengolah lahan. Cara yang dilakukan sesuai apa yang dikatakan oleh HR. Putih (nama benaran atau nama samaran?), adalah di luar kemampuan para petani tradisional dan pada kenyataannya Pemerintah Provinsi dan juga Kabupaten belum siap untuk melaksanakan hal tersebut. Jangan sampai dengan kata lain, HR Putih menganggap orang Dayak sebagai orang yang primitif. Pernyataan Wakil Gubernur yang menyatakan bahwa sampah hasil pembukaan lahan sebaiknya dikubur, juga tidak mampu dilakukan. Marilah bapak tugaskah orang dari Dinas Pertanian bersama saya melakukan praktek lapangan, mengubur sisa pohon untuk lahan yang kayunya besar-besar. Menghilangkan lapisan atas yang berupa akar-akar kayu dan biomass lainnya. Penulis siap untuk bekerja pada ladang yang sama dengan orang yang Bapak tugaskan atau dengan bapak HR Putih, untuk sama-sama merasakan bagaimana susah dan beratnya, solusi yang Bapak tawarkan dan juga untuk mengetahui berapa luas ladang yang dapat kami masing-masing siapkan, untuk memberi makan anak isteri kami. Para sarjana pertanian yang saya temui mengatakan pupuk terbaik adalah yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, selain abu vulkanik dan kotoran binatang. Jadi dengan membakar, peladang mendapat pupuk dari sisa tumbuh-tumbuhan hasil pembakaran. Dengan demikian ladang yang dibakar akan mempunyai cukup input nutrisi bagi tanaman padi untuk berkembang dengan baik. Keluarga Dayak akan sangat senang apabila hasil ladangnya cukup untuk persediaan hingga panen tahun berikutnya (istilah Dayak Ngaju “sukup akan panginan sampai getem nyelu rahian”). Inilah yang dipikirkan oleh keluarga petani Dayak. Jadi dengan larangan membakar lahan untuk ladang, akan membuat keluarga Petani Dayak tidak mempunyai ketahanan Pangan dan secara umum Kalimantan Tengah akan Rawan Pangan, karena berdasarkan data tahun 2005 (Kalimantan Tengah dalam angka 2005) luas ladang adalah 94.639 hektar dengan produksi 190.574 ton gabah atau setara beras paling tidak 100.000 ton, cukup untuk memberi makan selama setahun bagi sebanyak 833.000 orang atau 42% dari penduduk Kalimantan Tengah yang menurut data tahun 2005 berjumlah 1,95 juta orang. Jadi kalau ada kebijakan memberi subsidi beras seperti yang disampaikan kepada pers oleh Direktur CKPP, untuk peladang, beberapa waktu lalu, maka Pemerintah Provinsi harus siap mengalokasikan dana dari APBD Kalteng sebesar Rp. 600 milyar atau sebesar kurang lebih 50% dari APBD Kalteng tahun 2008, khusus untuk membeli beras kepada para peladang dengan asumsi harga beras layak dimakan Rp. 6000/kg dan perorang mendapat 10 Kg beras/bulan. Beras itu disediakan jangan cuma untuk beberapa bulan, karena ladang hanya panen satu kali setahun. Karena dilarang membakar ladang untuk tahun 2007 ini, maka Pemerintah Provinsi harus bertanggungjawab terhadap persediaan beras gratis untuk peladang hingga Pebruari 2009. Cukupkah dananya? Mungkin inilah waktunya tidak hanya untuk warga transmigrasi saja kita bisa siapkan Jadup, giliran orang Dayak dan penduduk Kalimantan Tengah yang mendapat Jadup.

Bapak Gubernur dan Bapak-Bapak Bupati Yang terhormat; Dasar pikir kedua adalah mengenai pola kepemilikan (akuisisi) lahan/tanah. Tanah adalah harta paling berharga dan dan adalah warisan paling berharga dimanapun di seluruh dunia. Pola yang ditempuh masyarakat Dayak untuk kepemilikan lahan adalah melalui perladangan. Bekas ladang (apabila tidak dimaksudkan untuk lokasi ladang tahun berikutnya), umumnya akan ditanami tanaman keras berupa tanaman perkebunan yang umumnya adalah karet dan rotan (rotan termasuk hasil hutan ikutan menurut UU 41 tentang kehutanan; contoh kekeliruan sebuah Undang-undang) dan juga buah-buahan. Melalui pola ini maka penduduk Dayak Kalimantan Tengah mempunyai bukti kepemilikan lahan berupa tanam tumbuh. Bukti kepemilikan lahan berupa surat tanah, apapun bentuknya, umumnya belum dimiliki oleh masyarakat Dayak. Oleh karena itu, dengan larangan membakar lahan untuk ladang, Pemerintah melalui Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten melalui Bupati telah memotong sebuah mekanisme turun temurun orang Dayak dan masyarakat Kalteng lainnya dalam mewariskan harta paling berharga kepada keturunannya yaitu berupa Tanah Perwatasan berupa Kebun ataupun lahan pertanian lainnya. Sehingga nantinya, “Palaku” dalam tata cara adat perkawinan Dayak Kalimantan Tengah tidak banyak lagi yang berupa tanah perwatasan. Terhentilah proses ini, dan akibat dari kebijakan ini, orang Dayak dan penduduk Kalimantan Tengah lainnya akan menjadi orang yang yang tidak mempunyai tanah atau menjadi landless atau bahkan mungkin nantinya menjadi homeless kata orang Inggris. Tidak menjadi Landlord atau Landlady, kata paling dikenal oleh para mahasiswa Inggris yang tidak tinggal di asrama Universitas. Jadilah masyarakat Dayak seperti peribahasa leluhur Dayak yang berbunyi “Tempun petak manana sare, tempun kajang bisa puat” atau kita sudah sampai pada apa yang diramal oleh Raja Brooke si Raja Putih di Serawak yang mengatakan “akan tiba saatnya akan datang padamu, orang-orang yang begitu tega yang tidak akan menyisakan apapun untukmu, sehingga piring nasi yang ada didepanmupun akan mereka ambil”. Siapakah orang-orang tersebut?. Kakek saya yang sudah meninggal yang tercatat sebagai pendiri Kalimantan Tengah mengatakan, orang-orang tersebut sudah datang dan banyak diantara kamu.

2. Bapak Gubernur dan bapak-bapak Bupati yang terhormat. Berpijak kepada dasar pikir yang saya sampaikan diatas, saya mempunyai pendapat bahwa apa yang dilakukan melalui kebijakan larangan membakar ladang adalah sebuah “Kebijakan menengah dan jangka panjang memiskinkan masyarakat Dayak” dan atau “sebuah cara untuk Mengamankan kebijakan tentang pengalokasian atau pencadangan lahan di Kalimantan Tengah untuk para pengusaha”, kalau tidak mau dikatakan sebagai sebuah “policy failure” dan dampak kebijakan tersebut adalah akan semakin banyak orang Dayak yang tidak mandiri dan miskin. Apabila bukan itu yang dikehendaki, tetapi masyarakat Kalteng yang Sejahtera dan Bermartabat, maka orang kalteng yang Bapak maksud bukanlah orang Dayak, tetapi para pemilik perkebunan sawit (sponsor pembuatan spanduk larangan membakar lahan/Makin Group) ataupun para pemilik/pemegang HGU lainnya, yang telah mendapat lahan luas di Kalimantan Tengah, sehingga mungkin karena saking banyaknya, batas antara KPPL dan KPP dalam rancangan RTRWP Kalteng yang baru, ada yang garis lurus sehingga membentuk kotak. Apakah hal ini dapat diartikan sebagai tanda batas pembagian tanah untuk rakyat dan untuk pengusaha. Apa memang demikian tata cara penetapan wilayah ruang untuk KPP dan KPPL? Kalau kebijakan larangan membakar ladang adalah kebijakan mengamankan pencadangan lahan Kalimantan Tengah, supaya tidak terjadi konflik kepemilikan lahan di kemudian hari, saya mempunyai permintaan, mungkin ada baiknya agar Bapak Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mempertimbangkan untuk mengundurkan diri, seperti yang sering saya baca di koran pada bulan-bulan awal saat menjabat Gubernur Kalimantan Tengah. Mungkin inilah saat yang tepat untuk melakukan pertimbangan ulang, untuk melakukan pengunduran diri tersebut.

3. Marilah lebih jernih berpikir dan mengambil sikap mengenai politik dan isu lingkungan yang dijual oleh pemerintah asing dan LSM luar negeri. Isu yang mereka jual adalah untuk tanah airnya, bukan untuk petak danum itah, bukan untuk uluh itah, bukan untuk Kalimantan Tengah, bukan untuk Indonesia. Global warming, Climate Change adalah dosa yang dibuat oleh negara industri dan untuk menebus dosa itu keluarlah berbagai ide seperti Carbon Credit, Bio Rights dan berbagai bantuan dari negara Industri untuk menyelamatkan hutan di negara tropis. Jadi, dosa negara industri di tebus dengan uang untuk negara berkembang/tropis dan kitalah yang harus “beribadah” untuk menebus dosa tersebut, sementara masyarakat kita masih berkutat pada urusan kampung tengah alias perut. Hal paling mendasar yang harus dibuat dalam kebijakan lingkungan hidup adalah menyandingkan dengan setara pertimbangan Ecology dan Economy. Hal inilah yang sedang dirumuskan oleh para ilmuwan dunia mengenai lingkungan hidup, sehingga pendekatakannya menjadi sebuah pendekatan yang disebut “win-win solution” antara ecology dan economy, bukan sebuah pendekatan berat sebelah. Disinilah peran Pemerintah Daerah dalam masalah lingkungan hidup, bukan condong kepada salah satunya, tetapi menyandingkan keduanya dalam suatu tatanan hubungan yang sinergis. Deklarasi Palangka Raya yang dibuat dalam sebuah seminar bisa saja dipandang sebagai sebuah hasil dari pemahaman dan penyikapan yang kurang tepat mengenai politik dan isu lingkungan, atau juga penggunaan isu lingkungan untuk mengalihkan perhatian publik dari kebijakan yang labih fatal terhadap lingkungan yaitu massive landuse conversion (konversi lahan besar-besaran terutma untuk perkebunan). Sebuah cara cerdik untuk menghindar dari isu lingkungan yang lebih permanen, berdampak luas dan jangka panjang. Tidak semua asap dan pembakaran adalah bencana. Tidak semua asap dan pembakaran adalah mencemari lingkungan. Karena untuk mengatakan mencemari lingkungan harus ada tolok ukur yang jelas, harus terbukti melanggar ambang batas yang telah ditentukan. Bukankah ini yang ditegaskan oleh Undang-undang lingkungan hidup? Bukankah hal ini yang harus dilakukan oleh para penyidik POLRI sebelum berkas pembakaran lahan masuk ke Kejaksaan untuk disidang di pengadilan (alasan mengapa para pengusaha perkebunan pembakar lahan tidak pernah disidang, berkasnya ditolak oleh kejaksaan dan oleh karena itu tidak ada yang masuk penjara). Untuk itulah spanduk besar di depan Kantor BPLHD Kalteng seharusnya bukan berbunyi “Save our forest, save orang utan (kahiu)”. Tapi bunyinya”save our forest, eradicate our Poverty”. Kalau yang pertama jangan dipasang di Kantor BPLHD Kalteng, tapi pasang saja di kantornya LSM peduli Kahiu. Untuk itu kita juga harus merubah pikiran kita dalam kasus lingkungan hidup, yaitu bahwa sebuah isu adalah komoditas perdagangan berharga mahal. Siapa yang diuntungkan? Tetap saja mereka yang dari negara Industri. Kalaupun ada orang Indonesia, itu paling cuma numpang nyari nafkah atau numpang fasilitas dana yang ada supaya populer. Contoh terkini adalah yang telah dilakukan oleh CKPP (Central Kalimantan Peatlang Project) dengan menyebar Kalender dan pamlet dan himbauan larangan membakar lahan hingga kehulu Rungan – Manuhing. Apa ada Peatland di Gunung Mas? Sejak kapan ada organisasi atau seksi dalam UNPAR bernama CKPP Unpar? Dengan beraninya membuat publikasi bahwa pertanian tanpa bakar sukses dan terbukti! Apakah benar melon itu ditanam dilahan gambut? Tidakkah melonnya ditanam di tanah mineral yang dimasukan kedalam lobang yang dibuat dilahan gambut? Apa begitu cara kerja ilmiah?. Lalu benarkah bahwa melon tersebut ditanam di lahan gambut, kalau ternyata akarnya hanya sekitar lobang yang bertanah mineral? Tidakkah CKPP telah melakukan pembodohan atau malah kebohongan publik? Sepengetahun saya tidak ada organisasi bernama CKPP Unpar dalam struktur organisasi resmi Universitas Palangka Raya. Hal ini penting diketahui oleh masyarakat Kalimantan Tengah, bahwa CKPP adalah bagian organisasi dari pelaksana proyek hibah bantuan Belanda, bukan organisasi resmi yang dibuat oleh Universitas Palangka Raya. Karena itu publikasi yang dilakukan oleh CKPP mengenai keberhasilan mereka mengembangkan pertanian tanpa bakar di lahan Gambut dengan melalui penanaman melon adalah sepenuhnya tanggung jawab CKPP, bukan tanggung jawab Universitas Palangka Raya. Apabila belakangan orang-orang CKPP menjadi setuju dengan membakar ladang, mungkin inilah bentuk “cuci dosa ilmiah ala CKPP”. Saya sebagai orang yang tercatat sebagai karyawan UNPAR sangat keberatan apabila larangan membakar ladang ini melibatkan UNPAR. Universitas adalah lembaga ilmiah, bukan sebuah LSM, seperti halnya CKPP yang adalah sebuah LSM, walaupun pengurusnya adalah orang UNPAR. Untuk itu para wartawan jangan lagi menggunakan istilah CKPP UNPAR. Tidak ada organisasi demikian dalam struktur organisasi Universitas Palangka Raya.

4. Bapak Gubernur dan Bapak-bapak Bupati, Bapak Kapolda dan Kapolres se Kalteng yang terhormat. Membakar lahan dan hutan memang dilarang oleh undang-undang dan berbagai ketentuan dibawahnya. Tetapi pertanyaan yang paling penting adalah apakah ladang adalah hutan?. Apakah lahan selalu didifinisikan dengan ladang? Disamping itu juga saya yakin bahwa pada era Gubernur Asmawi Agani, dengan mempertimbangkan secara bijak Undang-undang yang disebutkan melarang pembakaran lahan dan hutan, pemerintah Kalimantan Tengah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 yang dalam penjelasan pasal 2nya, menyebutkan bahwa pembakaran lahan untuk ladang dan kebun secara tradisional diperbolehkan, dan mekanismenya diatur oleh Pemerintah Kabupaten/kota masing-masing. Dengan demikian Pemerintah Kalimantan Tengah dan Pemerintah Kabupaten memiliki wewenang legal berdasarkan Perda, bagaimana mengatur pembakaran ladang. Kalaupun Perda ini diabaikan karena dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang lebih tinggi, saya yang bukan sarjana hukumpun tahu, bahwa ucapan seorang Pejabat Publik, Gubernur, Bupati, termasuk Presidenpun, tidak bisa mencabut ataupun membekukan sebuah Perda. Bukankah sampai sekarang belum ada keputusan yang sah secara hukum bahwa Perda tersebut dicabut?. Akan tetapi saya bingung dan curiga, tidak banyak Bupati yang membela rakyatnya. Hanya tercatat Bupati Bartim dan Bupati Kobar, Wabup Pulang Pisau dan Wabup Murung Raya (mungkin mereka ini yang layak jadi Gubernur berikutnya), yang tidak setuju larangan pembakaran Ladang. Sementara Bupati lainnya diam seribu bahasa. Oleh karena itu, masyarakat dan rakyat Kalimantan Tengah patut mempertanyakan apa tujuan atau agenda tersembunyi (selain dari isu asap, kebakaran dan bencana seperti bilboard dan spanduknya) dibalik larangan membakar ladang. Adalah sesuatu yang sangat rasional untuk menduga bahwa larangan pembakaran ladang adalah sebuah skenario politik untuk mengamankan pencadangan lahan di Kalimantan Tengah untuk para pengusaha perkebunan (ikut jadi sponsor pembuatan spanduk), kehutanan dan pertambangan. Patut juga diduga bahwa kasus penolakan Sawit oleh masyarakat Rungan Manuhing adalah sebuah contoh bagimana kisruhnya pengalokasian/pencadangan ruang/tanah yang ada di Kalimantan Tengah. Atau ini adalah bentuk balas dendam dan ketidak senangan Bapak-Bapak Bupati terhadap pola hubungan antara Pemerintah Kabupaten dengan Pemerintah Provinsi?. Sehingga semua Bupati patuh pada perintah ini, tetapi secara secara politis gamblang menyatakan bahwa ini kebijakan pemerintah provinsi melalui Gubernur. Namun demikian ada juga Pemkab yang saya anggap cerdik, mereka tidak pernah membuat surat tentang larangan membakar lahan, tetapi mempersilahkan spanduk larangan membakar lahan dipasang di wilayahnya (toh disitu bukan foto Bupati yang terlihat dan menyarankan secara sembunyi-sembunyi bahwa membakar ladang harus dilakukan selain jam 12 s/d 15 WIB, karena saat itulah satelit NOAA melintas di Kalteng). Suatu hal yang patut untuk diselami secara bersama-sama. Saya percaya hanya para Bupati yang tahu dengan pasti dan semoga saja, masing-masing pejabat politis bertanggung jawab dengan kebijakan larangan membakar lahan untuk ladang yang mereka keluarkan. Untuk itulah kita tidak perlu repot mecari solusi, laksanakan dengan benar dan konsekwen Perda Nomor 5 tahun 2003 supaya Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak mengeluarkan “solusi Jadup” memberikan subsidi beras kepada para Peladang? Apa ada dana Rp. 600 Milyar untuk membeli beras untuk para Peladang? Karena itu patutu dipertanyakan, apakah yang dikatakan oleh Direktur CKPP itu memang kebijakan Pemda? Lalu apa kapasitasnya sehingga seorang Direktur CKPP mempublikasikan kebijakan PemProv dan pertanyaan paling mendasar adalah apakah yang dikatakan itu dapat di pegang, apa dasar hukumnya? Hasil sebuah seminar? Itu bukan dasar hukum!. Karena para peladang sadar apa arti hukum, adalah selayaknya juga para pejabat Publik membuat kebijakannya dengan berdasarkan hukum dan kebijakan memberi subsidi mendapat legalitas sehingga harus ada keputusan mengikat paling tidak berupa Peraturan atau Keputusan Gubernur, sehingga kalau pada tahun 2008 nanti peladang ingin mendapat beras subsidi, mereka punya dasar hukum untuk meminta. Jangan cuma sebatas pernyataan Pers tanpa tahu siapa yang harus bertanggung jawab? Hal ini saya kemukakan karena sebenarnya kebijakan untuk melarang membakar lahan untuk ladang juga tidak ada dasar hukumnya, malah bertentangan dengan Perda yang masih ada dan masih berlaku. Mungkin inilah bentuk kebijakan yang sering dikatakan sebagai kebijakan “tidak bijak” karena dilakukan tanpa konsultasi yang intens dengan stakeholders. Kalau mau dirujuk ke hak asasi manusia, kebijakan tersebut bisa saja diduga melanggar hak asasi manusia karena dapat saja diduga sebagai kejahahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) karena menghilangkan dengan paksa sumber kehidupan para peladang. Sebuah kebijakan yang hanya dapat terjadi oleh karena minimnya informasi atau malah misinformasi.

5. Hal paling aneh dan ajaib mengenai larangan membakar lahan untuk ladang, saya temukan pada sebuah Kabupaten Pemekaran. Dalam sebuah suratnya seorang Bupati membuat Surat kepada para Camat, yang mendasarkan suratnya pada hasil sebuah seminar yang kemudian disebut belakangan sebagai deklarasi Palangka Raya. Pada poin 1 s/d 5 surat tersebut adalah hal yang wajar, tetapi pada poin ke 6, para Camat diperintahkan untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib, warganya yang melakukan pembakaran lahan. Saya jadi ngeri membaca surat tersebut. Seorang Camat harus melaporkan warganya ke polisi karena membakar ladang? Apakah camat atau Bupatinya mau memberi beras gratis kepada warganya yang peladang? Sejak kapan hasil sebuah seminar setara undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah? Itu terjadi hanya di Kalimantan Tengah. Sebuah bentuk kemajuan atau kesalah pahaman atau malah sebuah bentuk ketidakpedulian terhadap nasib rakyatnya?

6. Terakhir, saya menghimbau kepada bapak Kapolda Kalteng untuk lebih bijak dalam menindak para pembakar ladang. Saya yakin anak buah Bapak banyak juga yang orang tuanya adalah peladang atau paling tidak mempunyai sanak famili yang adalah peladang. Menegakkan hukum adalah tugas Bapak, tetapi membuat sengsara rakyat, saya yakin Bapak tidak mau. Hukum lain yang Bapak harus tegakkan adalah peraturan Daerah. Kalau Gubernur mengatakan Perda tersebut mau direvisi, ucapan Gubernur tidak bisa membekukan Perda. Harus ada Perda baru untuk mencabut atau mengganti Perda yang lama. Bukankah demikian logika kerja hukumnya? Menangkap mereka yang mampu mengendalikan dengan baik pembakaran ladang yang mereka lakukan, menurut saya bukan membakar lahan dan hutan, dan belum terbukti mencemari lingkungan. Karena untuk sampai pada kesimpulan mencemari lingkungan, pihak POLRI harus dapat membuktikan tingkat pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh para peladang pembakar ladangnya. Saya minta dengan sangat kepada Bapak Kapolda untuk lebih selektif dalam mendukung kebijakan Pemerintah Daerah. Wilayah tugas Bapak adalah penengakan hukum, jauh dari arena politis. Kebijakan ini juga patut diduga melanggar hak asasi manusia, karena berladang adalah sebuah cara untuk tetap hidup. Bukankah setiap orang berhak mempunyai matapencaharian? Haruskah mereka kelaparan karena tidak bisa berladang? Kebijakan membakar ladang menurut saya, kalau mau jujur adalah sebuah kebijakan politik. Apa buktinya? Buktinya adalah kebijakan ini mengabaikan dengan sengaja Perda Nomor 5 tahun 2003, pasal 2, beserta penjelasannya. Hanya kebijakan politik yang berani dibuat dengan melanggar Peraturan Daerah. Kemudian apabila berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007, tanggal 9 Juli 2007, tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, kebijakan ini juga kurang tepat, karena apabila dihubungkan dengan masalah larangan pembakaran ladang, maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota telah tidak berlaku bijak dalam melaksanakan tugas wajibnya yaitu tentang ketahanan pangan dan lingkungan hidup seperti yang diatur dalam pasal 7 ayat 2 peraturan pemerintah dimaksud. Masyarakat sudah cukup menderita dengan operasi illegal loging, karena ditingkat akar rumput ada keluhan bahwa untuk membuat rumah sendiripun masyarakat sudah takut dengan bapak Polisi. Pada saat melakukan tebas tebang untuk ladang, para peladang sudah didatangi polisi. Sehingga para orang tua yang kurang mengerti menanyakan kepada saya “en tuh nah aken, esu, jituhkah je otonomi daerah, gau kayu akan humakupun dumah polisi, petak likut humaku, intu bahuku imbagi akan kabun sawit, handak malan manana dumah polisi ngahana manusul, kilen ampi tana dia nusul, tau ikau kuman bari, amun kalute aken, esu ela buruk tinai ketun manyewut otonomi daerah. Baya ngapehe ikei je petani, tau matei balau ikei hanak, hesu, mangat ketun je bagajih, nyelu rahian gajih ketun mandai, tapi ikei dia kuman, tamam bihin metuh kampanye, besei-besei laku dukungan, nenga bantuan tuh te, limbah munduk, malah ikei handak kilau impatei, nyuhu balau”. Itulah sekelumit keluhan warga yang saya yakini keluar dari lubuk hati. Perlu penyikapan yang arif, karena saya yakin, kalau masyarakat marah secara bersama-sama, maka terjadilah yang disebut kemarahan publik (public anger), maka apapun aturan akan ditabrak bahkan dengan dipicu oleh gesekan dan suhu politik pada tahun 2008, tidak tertutup kemungkinan terjadinya kemarahan masal masyarakat terhadap pemerintah daerah. Khan polisi juga yang repot.

Semoga Tuhan yang Maha Esa dapat menolong para peladang dan memberikan pencerahan kepada para pejabat publik. Tahun 2008 sudah dekat. Isu “manjual petak danum dan mangapehe rakyat kurik, rangkah-rangkah mampanihau uluh Dayak”, adalah beberapa isu paling paten untuk menghilangkan harapan bagi para pejabat publik yang ada sekarang untuk menjabat kedua kalinya. Tinggal cari data pengalokasian dan atau pencadangan lahan yang telah dilakukan, seberapa yang masih ada dan dimanakah tanah bebas yang masih dapat dimillki rakyat? Petak Danum adalah hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan adalah hajad hidup orang banyak. Membakar ladang adalah upaya untuk tetap hidup. Haruskah kita menghilangkan sumber penghidupan para peladang atas nama Climate Change dan Global Warming?!!, atau sebuah popularitas?, sehingga dengan bangga saya berkata “saya mampu atasi asap!”. Oh... sungguh, betapa kurang bijaknya kita menyikapi isu dan politik dunia terutama negara Industri tentang lingkungan hidup. Semoga saja Darmae Nasir yang keliru, bukan Bapak-bapak para pemimpin Kalimantan Tengah. Kepada berbagai pihak yang saya sebutkan dalam surat ini, saya juga secara terbuka memohon maaf bila tidak berkenan, inilah demokrasi, beda pendapat bukan berarti untuk menjatuhkan, beda pendapat adalah sebuah kekayaan, beda pendapat adalah sebuah opsi untuk pencerahan dan dapat dijadikan bahan untuk melangkah lebih bijak pada masa-masa yang akan datang, termasuk juga bagi penulis. Lalu apa solusinya? Berdasarkan hal-hal yang saya pelajari sampai pada saat ini saya mempunyai kesimpulan bahwa untuk jangka pendek (s/d 5 tahun kedepan) , pembakaran ladang diperbolehkan dengan terkendali. Solusi jangka panjangnya adalah mengembangkan apa yang disebut sebagai “sustainable integrated farming”. Konsep ini akan dengan bijak mengkombinasikan isu konservasi/ecology dengan masalah produksi/ekonomi”. Seperti apakah itu, nanti kita bisa ketemu dalam tulisan berikutnya.

Thx.... Kalteng Post 6 okt 2007


Tidak ada komentar: