Jumat, 28 September 2007

Dalam RTRWP Memang Ada Kepentingan

21 juli 2007
Borak : Apakah SOB Ingin Investasi Tak Boleh Masuk Kalteng?
PALANGKA RAYA - Dalam penyusunan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah (Kalteng) memang ada kepentingan berbagai pihak. Seperti kepentingan pemerintah, masyarakat dan swasta.

Hal itu ditegaskan Ketua Komisi B DPRD Provinsi Kalteng yang juga ketua panitia khusus (pansus) Raperda RTRWP, Borak Milton, saat dimintai tanggapan terkait pernyataan Koordinator Save Our Borneo (SOB) Nordin yang menyarankan agar reperda RTRWP dibongkar ulang, karena sarat kepentingan investasi dan bagi-bagi lahan.

Borak juga menegaskan bahwa RTRWP memang untuk bagi-bagi lahan. Tujuannya supaya para pengusaha perkebunan, tambang atau kehutanan ini tidak secara liar dalam memanfaatkan kawasan yang dibagi-bagi tersebut.

Kader PDI Perjuangan ini mengatakan, ruang yang ada di wilayah Provinsi Kalteng harus ditata secara benar, supaya dalam pemanfaatannya nanti tidak seenak perutnya sendiri-sendiri. Sebab bila tidak ditata, mungkin nanti ada yang berkebun di puncak bukit atau bertambang di tengah kota.

“Nah, apa SOB maunya liar? Atau menginginkan Kalteng tidak boleh menerima masuknya investasi atau menolak para pengusaha yang mengajukan permohonan kepada para bupati untuk berkebun, bertambang dan lainnya? Apa cuma mau orangutan saja yang dipelihara?” Ucap Borak yang mengaku sedang berada di Jakarta ketika dihubungi koran ini, Jumat (20/7) siang.

Selain itu, ungkap Borak, adanya RTRWP juga supaya ada kepastian hukum. Karena dalam menyusun RTRWP sudah ada aturan atau undang-undangnya. Apalagi sudah empat kali termasuk yang sekarang, pemerintah pusat belum pernah mengesahkan usulan RTRWP Kalteng. Dan, inilah saatnya tata ruang wilayah Kalteng perlu diatur.

Karena itulah, pihaknya sangat mendukung upaya empat gubernur se-Kalimantan yang meminta dukungan politik dari Komisi IV DPR RI dalam penyelesaian RTRWP, yang hingga kini belum mendapat persetujuan dari pemerintah pusat.

Borak menambahkan, para gubernur di Kalimantan saja, khususnya Gubernur Kalteng yang konsen dan mengerti hukum menginginkan agar raperda RTRWP yang ada bisa secepatnya disahkan oleh pemerintah pusat. Sementara SOB justru menghendaki dibongkar lagi. “Karena itu, kami sarankan kepada SOB agar mempelajari dulu makna RTRWP,” ucapnya. (mad)

TATA RUANG

Penyusunan RTRWP Kedepankan Peran Masyarakat
PALANGKARAYA, PPost Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) RTRWP Kalteng yang sudah dip roses Pansus DPRD Kalteng dan kini macet ditingkat Departemen terkait, diminta untuk diproses penyusunan kembali.

Raperda tersebut dinilai tidak selaras dengan perundanganyang lebih tinggi yaitu UU Penataan Ruang No, 26 Tahun 2007 yang disahkan pada 26 April 2007 yang masuk dalam Lembaran Negara RI Nomor.4725. Mestinya penyusunan Raperda untukmemperkuat dan memperjelas peraturan yang lebih tinggi, yang terjadi justru sebaliknya. Sementara dari segi proses raperda itu sendiri, mestinya mngedepankan peran serta Masyarakat.

Hal tersebut diungkapkan Nordin,SE, coordinator Save Our Borneo (SOB) sebuah lembaga pemerhati lingkungan dalam siaran persnya dengan wartawan cetak dan elektronik dipalangkaraya, kamis (19/7) siang kemaren.

Terkait dengan penyusunan Raperda itu sendiri menurut Nordin, Pihaknya jauh-jauh hari pernah mengingatkan masalah ini, tetapi nampaknya pansus raperda RTRWP di DPRD Kalteng, tidak pernah memperhatikannya. Pihaknya juga menilai, penyusunan raperda RTRWP tersebut juga tidak melalui kajian akademik yang memadai, atau bahkan nampak tanpa naskah akademik sama sekali, dimana langsung muncul draft saja. Jadi penyusunannya betul-betul dengan proses yang tidak procedural. Dari segi proses pula, penyusunan raperda itu mestinya mengedepankan peran serta masyarakat, namun dengan alasan keterbatasan waktu dan biaya, hal tersebut tidak dilakukan.

Selain itu dalam batang tubuh Raperda RTRWP juga tidak memuat sanksi yang selaras dengan UU Penataan Ruang, dimana dalam UU No.26/2007 pasal 73 ayat 1 memuat…”Setiap pejabat Pemerintah Yang berwewenang yang menerbitkan ijin tidak sesuai dengan rencan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000,-

Raperda RTRWP Harus Dibongkar

20 juli 2007
Nordin : Sarat Kepentingan Investasi dan Bagi-bagi Lahan
Palangkaraya- Save Our Borneo (SOB) mendesak agar Rancangan Peraturan Daerah (Ra-perda) Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah Dibongkar ulang dan disusun kembali. Pasalnya, Raperda itu tidak selaras dengan Perundang-undangan diatasnya. Yaitu, UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang disahkan tanggal 26 April 2007 dan dimasukan kedalam lembaran Negara RI Nomor 4725.

“Perlunya raperda dibongkar ulang karena sarat kepentingan Investasi dan bagi-bagi lahan. Kami mensinyalir terburu-burunya penuntaan RTRWP karena adanya upaya mengubah fungsi kawasan tertentu. Khususnya, kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Penyususnan ini menjadi sangat kentar atas pesanan pemodal, bukan karma kebutuhan untuk emenuhi keadilan distribusi ruang bagi public. Atau, antisipasi ancaman bencana ekologis pada masa mendatang,” ujar coordinator SOB Nordin saat jumpa pers di LA CafĂ©, Hotel Lampang, Jalan Irian, kamis (19/7).

Dijelaskannya, data yang ada pada SOB menunjukan ada 446.455 hektare kawasan hutan baik hutan produksi maupun hutan produksi terbatas (HP/HPT) minta dilepas menjadi KPP/KPPL. Permintaan ini, ungkapnya, didominasi Perkebunan Sawit di Provinsi Kalteng. “Karena itu, Panitia Khusus (Pansus) RTRWP DPRD Kalteng sangat mendesak agar tata ruang yang ada segera diubah. Maksudnya, agar proses pemberian ijin-ijin yang ada menjadi legal dan tak bermasalah dengan hokum, “terangnya.

Menurut Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalteng ini, SOB pernah mengingatkan masalah tersebut. “ Tetapi, Pansus RTRWP DPRD Provinsi terkesan tutup telinga. Jika raperta tersebut diteruskan tanpa memuat substansi Undang-udang Nomor 26 Tahun 2007, maka tak akan dapat di registrasi departemen terkait ditingkat pusat. Sebab, raperda tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan UU diatasnya sehingga resikonya akan dibatalkan serta-merta,” kata Nordin.

Nordin mengutarakan, seharusnya penyusunan raperda justru memperkuat dan memperjelas aturan yang lebih tinggi diatasnya. Tetapi yang terjadi, jelasnya, justru membuat aturan menjadi lebih lunak atau sumir. Dalam hai ini, SOB mempertanyakan kredibilitas dan integritas pansus RTRWP DPRD Kalteng. Pasalnya, penyusunan raperda tidak melalui kajian akademik memadai. Bahkan, lanjut Nordin, tanpa naskah sama sekali, draft saja yang langsung muncul. “Jadi, penyusunan ini betul-betul tidak professional,” imbuhnya.

Dari segi proses yang seharusnya mengedepankan peran serta masyarakat, terangnya, dimanipulasi dengan alasan keterbatasan waktu dan biaya. “alasan tersebut sangat menggelikan dan menunjukan raperda ini jelas-jelas seperti sebuah barang pesanan dari berbagai pihak yang berkepentingan. Bukti lainnya, Perda Nomor 8 Tahun 2003 yang belum berumur 5 taun sudah direvisi. Ini menambah kejelasan revisi perda tata ruang merupakan barang pesanan,” Katanya.

Kemudian, ucap Nordin, Dalam batang tubuh raperda RTRWP tak emuat sanksi yang selaras dengan UU Nomor 26 Tahun 2007. Padahal, dalam Pasal 73 ayat 1 UU Penataan Ruang memuat sanksi bagi Pejabat Pemerintah berwewenang yang menerbitkan ijin tak sesuai rencana tata ruang sebagaimana pasal 37 ayat 7. Ancaman pada pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500 juta.

Pasal 73 ayat 2-nya memuat pelaku dapat dikenai biaya tambahan berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya. Sementara pasal 37 ayat 7 mengatakan, setiap pejabat pemerintah yang berwenang memberikan ijin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan ijin tak sesuai dengan rencana tata ruang.

“Dengan demikian, Raperda RTRWP yang disusun jelas-jelas bermak-sud mengamputasi UU Nomor 26 Tahun 2007. Dalam hal ini dapat dikatakan kalau raperda ini bertentangan dengan perundang-undangan lebih tinggi diatasnya,” pungkasnya. (def)

Nordin: Apa RTRWP yang Ada, Liar?

Senin, 23 Juli 2007
PALANGKA RAYA - Koordinator Save Our Borneo (SOB) Nordin mempertanyakan apakah selama ini peraturan daerah (perda) rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) yang telah ada masih liar. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Ketua Komisi B DPRD Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) Borak Milton yang mengatakan adanya RTRWP untuk penataan kawasan agar pengusaha perkebunan, tambang atau kehutanan tak seenak perutnya sendiri dalam memanfaatkan lahan.

“Seperti diketahui, selama ini ada Perda RTRWP Nomor 8 Tahun 2003. Apakah RTRWP tersebut liar? Itu yang mengatakan dia (Borak Milton, Red) sendiri lho. Kalau begitu keadaannya, jadi usaha perkebunan, pertambangan dan kehutanan selama ini masih liar. Padahal, masih ada RTRWP lama,” ujar Nordin kepada koran ini, Minggu (22/7).

Menurutnya, Ketua Komisi B DPRD Provinsi Kalteng juga mengakui kalau RTRWP untuk membagi-bagi lahan. Padahal, ucapnya, seharusnya RTRWP bertujuan menata Bumi Tambun Bungai menjadi ruang publik. Penataannya diselaraskan dengan upaya penanganan bencana, keadilan bagi masyarakat dan berwawasan lingkungan.

“Kawan-kawan di sana (panitia khusus/pansus RTRWP DPRD provinsi, Red) hanya menekankan bagi-bagi lahan tanpa memikirkan penataan yang disesuaikan dengan lingkungan dan keadilan bagi masyarakat. Kalau SOB diminta belajar makna RTRWP, justru kawan-kawan di pansus yang tak mengerti substansinya. Yaitu, apakah nantinya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dimasukkan dalam raperda RTRWP yang baru,” terangnya.

Mantan direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalteng ini kembali mengutarakan, raperda RTRWP yang sedang disiapkan sangat tak selaras dengan UU Nomor 26 Tahun 2007. “Atau, apa pansus RTRWP DPRD provinsi belum menerima UU tersebut? Kalau belum, ya saya kasih. Ayo kita (SOB dan pansus RTRWP, Red) sama-sama belajar untuk memaknai RTRWP. Dalam hal ini, tentu saja bukan SOB yang menyusun RTRWP. Saya sebagai rakyat minta diajari terkait SOB harus mempelajari makna RTRWP. Kalau saya yang ngajarin beliau (Borak), tak cocok. Sebab, dia adalah wakil rakyat. Namun, kalau ada yang berbelok, kami memberikan masukan dan saran,” ucapnya.

SOB, kata Nordin, kembali menuntut raperda RTRWP dibongkar ulang dengan memasukkan UU Nomor 26 Tahun 2007 sebagai konsidern utama. “Kalau tetap tidak memasukkan UU tersebut dalam substansi raperda dan kemudian DPRD mengesahkannya, bisa jadi kami mengambil langkah hukum. Kepada pansus, sebaiknya tidak perlu berbicara yang tak substansial. Sebab, itu menunjukkan kepanikan dan kedangkalan kajian akademik raperda tersebut,” tegasnya.

Sekadar mengingatkan, data yang ada pada SOB menunjukkan ada 446.455 hektare kawasan hutan produksi/hutan produksi terbatas (HP/HPT) minta dilepas menjadi kawasan pengembangan produksi/kawasan pemukiman dan penggunaan lainnya (KPP/KPPL). Permintaan ini didominasi perkebunan sawit di Provinsi Kalteng.

Menurut Nordin saat jumpa pers di LA Cafe Hotel Lampang, Jalan Irian, Kamis (19/7) lalu, dalam batang tubuh raperda RTRWP tak memuat sanksi yang selaras dengan UU Nomor 26 Tahun 2007. Padahal, dalam pasal 73 ayat 1 UU tersebut menetapkan adanya sanksi bagi pejabat pemerintah berwenang yang menerbitkan izin tak sesuai rencana tata ruang sebagaimana pasal 37 ayat 7. Ancaman pada pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

Pasal 73 ayat 2-nya memuat pelaku dapat dikenai biaya tambahan berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya. Sementara pasal 37 ayat 7 mengatakan, setiap pejabat pemerintah yang berwenang memberikan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin tak sesuai dengan rencana tata ruang. (def)

Masyarakat Adat Dayak kalimantan Tengah

Tipikal Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah adalah Masyarakat Tradisional yang masih Kuat dan Erat Sekali dengan Hukum Adat. Keadaan itu membuat para Tokoh masyarakat seperti, Pengulu, Demang Kepala Adat atau para tetuha kampung masih dominan untuk menyelesaikan permasalahan dan persoalan di masyarakat (kapung).

Dalam pengelolaan Hutan dan Lahan masyarakat dayak Kalimantan Tengah selalu mengikuti tradisi local yang sarat dengan nilai-nilai kearifan local dan budaya-budaya local yang sudah diterapkan semenjak jaman nenek moyang dan hingga sampai saat sekarang ini. Saat berladang atau berhuma pola yang digunakan masyarakat adalah pola berladang gilir balik, dimana satu daerah yang diladangi masyarakat akan ditinggal beberapa waktu tertentu dan kemudian meninggalkannya untuk membukan lahan baru. Dan setelah ladang pertama tadi sudah subur kembali, maka masyarakat akan kembali untuk menyambungkan perkebunannya di lahan tersebut.

Dalam setiap kegiatan berladang, masyarakat selalu melakukan upacara-upacara atau ritual adat untuk memohon kepada Sang Penguasa untuk memberikan kesuburan tanah dan menjauhkan masyarakat dari bencana alam. Dan ini menunjukan bahwa Masyarakat Dayak kalimantan Tengah sangat dekat sekali dengan alamnya dan mempunyai semangat yang tinggi untuk pelestarian alam dan lingkungannya.



Bicara "SAWIT Artinya Bicara "BENCANA".....!!!

Makin tingginya permintaan akan minyak sawit dunia, membuat kita untuk memulai berbicara bencana bagi lingkungan alam dan juga bagi kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan akan minyak sawit dunia mendorong untuk penambahan jumlah luasan perkebunan kelapa sawit dan ini akan berimplikasi pada kerusakan lingkungan (hutan, air,tanah dan lainnya) dan akan membawa bencana pula bagi kehidupan masyarakat, seperti banjir, tanah longsor serta bisa menimbulkan berbagai macam penyakit. Dengan masuknya perkebunan kelapa sawit artinya akan memasukkan kaum penjajahan baru dalam bentuk penindasan ekonomi dinegeri sendiri.

Dengan dibukanya perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran berarti menghilangkan ekosystem dan semua aspek kehidupan masyarakat adat yang sangat dikenal arif dengan lingkungan sekitar. Yang dulunya kita hidup dari hasil-hasil hutan dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, seperti berkebun, berladang, bertani dan sebagainya tapi sekarang kita diancam dengan masuk pembangunan yang tidak berpihak pada masyarakat dan kita akan menghilangkan segala aspek sumber kehidupan yang kita miliki secara turun-temurun. Dan kita harus mengingat kembali dari sejarah masyarakat adat sejak jaman Nenek moyang kita dulu bahwa ”Masyarakat hidup bukanlah dari perkebunan kelapa sawit”. Dan dengan masuknya perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran juga akan menimbulkan berbagai macam persoalan-persoalan yang nantinya akan bisa menghadirkan serta memunculkan konflik horisontal antar sesama masyarakat.

Perkebunan kelapa sawit adalah pembangunan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat (versi pemerintah dan investor), tapi pada kenyataan riil yang dilakukan adalah semata-mata hanyalah demi sebuah kepentingan segelintir orang saja.

Bicara sawit berarti kita berbicara penindasan yang terjadi atau yang ditimbulkan dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang sedang terjadi dan yang akan kita hadapi di masa-masa yang akan datang. Dimana pemerintah dan pengusaha dengan sengaja telah mengkondisikan masyarakat agar menjadi tertindas dalam segala bentuk, baik ekonomi, budaya, politik dan keamanan. Mereka bisa memangsa apa saja termasuk aparat penegak hukum, Polisi, Pengadilan, demi keamanan berinvestasi yang kondusif. Dan bahkan mampu melakukan intervensi-intervensi dalam perumusan kebijakan, membuat dan merubah undang-undang yang berpihak pada kepentingannya.

Pembukaan perkebunan kelapa sawit skala besar otomatis akan membabat habis semua yang ada dilokasi lahan yang luasnya hingga ribuan bahkan bisa mencapai jutaan hektar dan yang semula disitu ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan, binatang, sungai yang sudah terkolaborasi sejak puluhan bahkan ratusan tahun lamanya, dengan sekejap mata saja akan berubah menjadi hamparan hijau tanaman kelapa sawit yang hanya hidup satu jenis saja dan ini akan membuat ekosistem (rantai kehidupan) masyarakat menjadi rusak serta budaya-budaya lokal yang selama ini di kenal arif dengan masyarakat akan hilang.

Mengingat begitu besarnya dampak dari perkebunan kelapa sawit bagi keutuhan lingkungan dan kehidupan manusia maka kita bisa berpikir ulang seribu kali untuk menerima masuknya perkebunan kelapa sawit skala besar serta budaya-budaya baru yang akan menghilangkan segala macam jenis tumbuh-tumbuhan asli.

Dalam kontek gerakan lingkungan tantangan yang semakin besar dimasa-masa yang akan datang, mengharuskan kita untuk melakukan reposisi, artinya gerakan lingkungan menjadi gerakan sosial. Ini adalah salah satu langkah persiapan untuk menghadapi dominasi pasar dan globalisasi dimasa yang akan datang. Karna pemerintah tidak lagi mempunyai fungsi sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat, karna perannya telah dihilangkan oleh arus globalisasi dan pasar bebas. Oleh karna nya, mulai sekarang kita perlu merapatkan barisan, agar komunikasi dan kesadaran hak atas lingkungan bisa terjalin dan kian dieratkan.

Sebagai aktivis gerakan peduli lingkungan, atau siapa pun dia maka secara bersama-sama mencoba untuk membangun kekompakan dan persatuan yang berasal dari bawah (basis bawah) guna melawan penindasan dan penjajahan baru yang selama ini terjadi ditengah-tengah masyarakat. Dengan demikian kita wajib secara bersama-sama mulai BELAJAR bagaimana caranya memberdayakan semua potensi sumber daya alam yang kita miliki, bagaimana bekerjasama dengan warga lain untuk menciptakan persatuan dan kebersamaan dalam sebuah gerakan lingkungan, menyatakan sikap kita secara transparan kepada sesama masyarakat tertindas, mempengaruhi kebijakan resmi yang tidak berpihak pada masyarakat dan belajar menghadapi lawan atau musuh bersama yang juga merupakan hambatan sebuah gerakan dan perjuangan masyarakat. Kita jangan tinggal diam, karna ”DIAM SAMA ARTINYA MEMPERPANJANG GARIS PENINDASAN”.

Perkebunan kelapa sawit yang berkembang di indonesia sekarang ini membawa kita untuk menuju sebuah pederitaan yang berkepanjangan jika itu tidak mulai sekarang kita secara kolektif untuk tindak bersama dan sadar atas hak-hak kelola kita, kita sedang berhadapan dengan sebuah sistem yang nyata-nyata mebodohi serta merusak lingkungan dan hutan/lahan kita. Salah satu solusi untuk berjuang mempertahankan hak-hak atas sumber daya alam kita yaitu mulai dari kesadaran hati nurani kita sendiri, kita tidak bisa selalu berharap penuh dari uluran-uluran tangan orang lain yang membantu kita tetapi melainkan kita munculkan dari kesadaran diri kita sendiri bahwa kita sedang ditindas.